MA'HAD ISLAM TERPADU AL- KHAIRIYYAH, SEKOLAH DAN PONDOK PESANTREN.....................DENGAN MOTTO: BERILMU AMALIYAH - BERAMAL ILMIYAH - MENJAGA UKHUWWAH ...........................YAYASAN MIT ALKHAIRIYYAH KARAWANG MENERIMA SEGALA BENTUK DONASI YANG HALAL DAN TIDAK MENGIKAT; MELALUI BANK JABAR . No. Rekening : 0014732411100 atas nama : Pondok Pesantren Al-Khairiyyah Karawang...........................Facebook: khaeruddin khasbullah.....

SEPUTAR AL-KHAIRIYYAH (facebook:: https://www.facebook.com/khaeruddin.khasbullah)

Selasa, 12 Juli 2011

@ SHOLAT SUBUH KEPAGIAN? PEMBAHASAN LEBIH LANJUT.

Pada kesempatan tulisan yang lalu pernah ditulis sebuah artikel dari kami yang isinya merupakan bantahan kami atas tulisan yang ISINYA MENYALAHKAN JADWAL WAKTU SHOLAT KITA, bahkan menurut mereka waktu subuh secara salah kaprah dilakukan terlalu cepat +/- 20 menit. Untuk lebih menguatkan bantahan kami, disini kami nukilkan BEBERAPA BANTAHAN DARI PARA MUFTI DARI BELBAGAI NEGARA, termasuk dari Saudi Arabia.


Mudah- mudahan hati saudara- saudara kita yang sempat terganggu keyakinannya dan melakukan sholat subuh sendiri dengan waktu 20 menit lebih siang, dapat berjamaah sholat subuh kembali SECARA BERSAMA- SAMA dengan masyarakat lainnya, sehingga ukhuwah islamiyah tidak menjadi terpecah.

Kami juga sangat mengharapkan agar pembaca dapat mengkopy tulisan ini dan menyebarkannya ketengah- tengah masyarakat kita agar keraguan mereka juga hilang. Semoga amaliyah anda sekalian mendapatkan pahala secara terus menerus dan berlipat ganda Amin.


Waktu Sholat Subuh.

Berdasar hadits yang diriwayatkan dari Anas bin Malik,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – غَزَا خَيْبَرَ ، فَصَلَّيْنَا عِنْدَهَا صَلاَةَ الْغَدَاةِ بِغَلَسٍ
“Sesungguhnya Rosulullah shallallahu ‘alaihi was sallam berperang pada perang Khoibar, maka kami sholat ghodah (fajar) di Khoibar pada saat gholas[HR. Bukhori No. 371, Muslim No. 1365. ]
“Gholas” yang dimaksud adalah: Temaram gelap dengan sedikit semburan cahaya fajar.

Allah berfirman: ”Dan makan minumlah kamu hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar.” (QS Al-Baqarah [2] : 187). Ayat ini menunjukkan bahwa makan minum (sahur) masih boleh hingga jelas/terang (tabayyun) bahwa fajar sudah datang. (Yusuf Al-Qaradhawi, Fiqh Al-Shiyam, hlm. 101).

Yang dimaksud fajar dalam ayat itu adalah fajar shadiq, bukan fajar kadzib. Dalilnya hadits ‘Aisyah RA, dia berkata,”Janganlah adzan Bilal mencegah dari sahur kamu, karena dia menyerukan adzan pada malam hari. Makan minumlah kamu hingga kamu mendengar adzan Ibnu Ummi Maktum, karena dia tidak menyerukan adzan hingga terbit fajar.” (HR Bukhari, Muslim, Nasa`i, Ahmad, Ibnu Hibban, dan Ibnu Khuzaimah).

Hadits ini menjelaskan Bilal mengumandangkan adzan pada malam hari, atau saat terbit fajar kadzib, yaitu munculnya cahaya putih yang memanjang ke arah atas/langit. Sedang Ibnu Ummi Maktum mengumandangkan adzan saat terbit fajar shadiq, yaitu munculnya cahaya putih ke arah kanan dan kiri, bukan hanya ke arah atas saja. (Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, ibid., hlm. 82).

Waktu Sholat Isya'

Sedangkan waktu Isya' dimulai setelah hilangnya Syafaq Ahmar (awan merah) sebagai tanda bahwa sinar matahari sudah tak mampu menyinari cakrawala kita karena sudah beberapa derajat dibawah ufuk.

Dalil yang menunjukkan awal waktu shalat ‘Isya’ sebagaimana diterangkan dalam hadits shalat Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersama Jibril,
وَصَلَّى بِىَ الْعِشَاءَ حِينَ غَابَ الشَّفَقُ
Lalu beliau melaksanakan shalat ‘Isya’ bersamaku ketika cahaya merah saat matahari tenggelam hilang.
Yang dimaksud syafaq adalah cahaya merah di ufuk barat saat matahari tenggelam. Syafaq ini adalah cahaya merah sebagaimana dipahami dari sisi makna bahasa, bukan cahaya putih (Lihat Al Iqna’, 1: 199).
Fajar dan Isya' secara astronomi

Pada saat dini hari dimana matahari masih 17-19 derajat dibawah ufuk, langit sudah berpendar terang (twilight). Hal ini di sebabkan sinar matahari dipantulkan dan menyinari udara. Kejadian ini disebut Rembang Pagi atau Fajar. Waktu Shubuh dimulai saat Rembang Pagi sampai terbitnya matahari dari ufuk.
Sore hari matahari terbenam di ufuk barat. Sampai matahari terbenam sejauh 17-19 derajat di ufuk barat, langit masih nampak terang dengan warna kemerah-merahan. Kejadian ini disebut Rembang Petang atau Syafaq Ahmar sebagai pertanda mulainya Sholat Maghrib sampai warna cahaya merah hilang dari langit.
Lama Rembang dari titik terbit atau terbenam tidak sama disemua tempat, tergantung dari posisi matahari pada waktu itu. Tempat dimana posisi matahari terbit atau terbenam dengan tegak lurus, lama Rembang adalah 17 derajat, atau sama dengan 17 x 4 menit = 68 menit, atau 1 jam lebih 8 menit  Seperti misalnya terbenam matahari di kota Pontianak pada tanggal 21 Maret, matahari terbenam pada jam 17:53:21. Maka waktu isya' jatuh 68 menit kemudian, yaitu pada jam 19:01:21 WIB.
Di tempat yang lurus atau naiknya matahari miring, lama Rembang akan lebih dari 68 menit.

catatan :1 derajat = 4 menit, satu lingkaran bumi penuh à3600  = 360 x 4 : 60 = 24 jam).

أفق


Gb. Nautical Twilight Isya' (Syafaq Ahmar) dan Subuh (Fajar Shidiq)




TABLE AWAL MASUK FAJAR SHIDDIQ DAN WAKTU ISYA' MENURUT AHLI – AHLI ILMU FALAK DARI MASA KE MASA
   الجدول التالي ملخصا لأراء الفلكيين أو الموقتين المتقدمين في دخول وقت الفجر والعشاء


 Sudut Isya'
العشاء
 Sudut Fajar
الفجر
 Nama Ulama Falak/ Astronomers
اسم الشخص
Thn Hijri
سنة هجرية
نمر
18
18
البتاني
313
1
18
18
ابو الحسن الصوفي
376
2
18
18
البيروني
440
3
18
18
ابن الزرقلة
493
4
18
18
نصير الدين الطوسي
672
5
18
18
ابو الحسن بن جعفر بن باص الأسلمي
693
6
18
18
القاضي زادة
840
7
18
18
ابو الربيع سليمان بن احمد الفشتالي
1208
8
18
18
ابو علي الحسن بن عيسى بن المجاصي

9
18
18
ابو زيد عبد الرحمن البوعقلي الشهير بابن المفتي

10
18
18
الشيخ حسن أفندي

11
17
19
إبن الشاطر
777
12
17
19
الشيخ جمال الدين عبد الله بن خليل المرديني
806
13
17
19
الشيخ عبد العزيز بن عبد السلام الوزكاني

14
17
19
الشيخ محمود الجنوبي

15
17
19
الفرضي الحيسوبي الميقاتي ابوالقاسم بن ج محمد الانصاري الصفاقسي

16
17
19
ابو عبد الله سيدي محمد المعطي مرين الرباطي

17
17
19
الشيخ علي بن عبد القادر البنتتي الحنفي

18
16
20
ابو الحسن بن علي بن عمر المراكشي
660
19
19
19
ابو عبد الله محمد الشبيلي المعروف بابن الرقام
685
20
?
15
SYEKH Mamduh ibn Muhammad ibn Ali Farhan al-Buhairi (dan juga Prof. Dr. Tono Saksono dari Indonesia?)
1387 H
21

Ad- Durus Al- Falakiyyah, halaman II/44: KH. Maksum Jumbang (NU), sudut Fajar = 19 derajat.
Kitab Falak dan Hisab halaman 72 Anngaran no 12: KH. AR. wardan (Muhammadiyyah), sudut fajar = 19 derajat.

Note: 20 menit = 20/4 degree = 5 degree==> 19-5 = 14 degree.

Sumber: Laporan ICO Project:  http://www.icoproject.org/pdf/Salat_Problems_2010.pdf


PERNYATAAN PARA MUFTI MANCANEGARA BAHWA JADWAL SHOLAT SUBUH KITA SUDAH BENAR.

(a) Fatwa dari Mufti Negara Saudi Arabia sekarang, Syeikh Abdul Aziz Alu Syeikh.

Prof. Dr. Ibrohim bin Muhammad As-Shubaihi mengatakan: Yang terhormat Mufti Kerajaan (Saudi Arabia), Syeikh Abdul Aziz Alu Syaikh, mengecam pendapat yang meragukan keakuratan kalender Ummul Quro dalam penentuan waktu mulai puasa dan waktu berbuka di Bulan Romadhon. Beliau menegaskan bahwa semua pendapat yang dikemukakan dalam masalah ini salah dan jauh dari kebenaran, dan harusnya (pendapat mereka itu) tidak usah dihiraukan, karena hal itu menimbulkan sikap skeptis di barisan kaum muslimin.

Prof. Dr. Ibrohim bin Muhammad As-Shubaihi menambahkan: Dalam keterangan resminya Mufti mengatakan, bahwa: Kalender Ummul Quro itu kalender yang resmi, syar’i, dan tidak sembarangan, karena telah disusun oleh para ulama pilihan yang tepercaya, baik dalam ilmu maupun amanahnya, dan telah dipakai sejak dahulu hingga sekarang.

Yang terhormat Mufti yang lalu, Syeikh Abdul Aziz Bin Baz, pada masanya juga telah memerintahkan untuk membentuk lajnah (tim khusus) yang terdiri dari para ulama dan tenaga ahli, untuk memeriksa ulang keakuratan kalender Ummul Quro. Hal itu dilakukan setelah banyaknya surat yang dikirim kepada beliau dari sebagian lembaga dakwah dan sebagian imam masjid tentang waktu fajar. Beliau tidak menolak untuk mengoreksi ulang keakuratan kalender yang ada, sebaliknya beliau memerintahkan untuk menindaklanjutinya.

(Tidak hanya itu), beliau juga melayangkan perintah kepada kementrian haji dan wakaf dengan surat resmi no 1/182, tanggal 20/1/1412 H, karena adanya permintaan dari ketua lembaga dakwah dan penyuluhan daerah Ar’ur yang melihat adanya perbedaan jauh dalam kalender Ummul Quro untuk daerah Ar’ur, antara adzan shubuh dengan terbitnya matahari. Kemudian lajnah (yang dibentuk untuk mengoreksi ulang kalender tersebut) menegaskan dalam laporan resminya, bahwa waktu yang ada masih akurat dengan terbitnya fajar (shodiq). Dan Syeikh Abdul Aziz Alu Syeikh (Mufti Kerajaan Saudi Arabia sekarang), menegaskan harusnya menerapkan kalender Ummul Quro, dan tidak mengakhirkan waktu mulai puasa dan waktu buka puasa, karena tidak adanya alasan yang mendasari hal ini.

Dalam masalah waktu atau kiblat, jika masyarakat telah berjalan di atas ketentuan yang didasari dengan ilmu dan fatwa, dan telah diperaktekkan oleh kaum muslimin secara umum, maka tidak boleh ada usaha untuk menimbulkan keraguan kepada mereka dalam hal waktu sholat, atau waktu ibadah, atau yang semisalnya. Ini tidak boleh dilakukan, karena peraktek mereka itu telah didasari dengan fatwa dari para ulama.

Dan usaha menimbulkan keraguan kepada fatwa para ulama dalam masalah ibadah, atau apa yang telah diamalkan (secara umum), jika kesalahannya tidak nyata, dan masih dalam lingkup ijtihad, maka hal itu tidak boleh disebarkan kepada khalayak.

Maka, waktu sholat yang wajib dipegang oleh semua adalah apa yang ada dalam kalender Ummul Quro, dan wajib bagi semua muadzin untuk konsisten dengannya, baik untuk waktu fajar ataupun untuk waktu lainnya, baik di Kota Riyadh maupun di kota lainnya. Adapun jika dia hidup di daerah yang belum dimasuki jadwal waktu, maka ia harus berijtihad (dalam waktu sholat) dengan berdasar tanda-tanda alam yang dilihatnya.

Jadwal waktu yang ada dalam kalender itu berdasarkan hisab, dan menyandarkan waktu sholat kepada hisab itu boleh berdasarkan IJMA’ (konsensus) para ulama, karena Alloh Jalla wa’ala berfirman (yang artinya): “Dirikanlah sholat sejak matahari tergelincir, sampai gelapnya malam” (Al-Isro’: 78). (Lihatlah, dalam Ayat ini) Alloh menjadikan pelaksanaan sholat dengan diketahuinya tergelincirnya matahari, tanpa membatasi sarana untuk mengetahui proses tergelincirnya matahari itu, dan para ulama mengatakan dalam kaidah fikih: “Hukum wadh’iyah yang meliputi sebab, syarat, mani’ dan yang lainnya, jika tidak ada batasan pada sarana (untuk mengetahui)-nya, maka dengan sarana apapun hal itu diketahui, hukum wadh’iyah tersebut menjadi tetap”, kecuali jika ada dalil khusus yang mengecualikannya, seperti dalam masalah puasa… Adapun selain puasa, maka penentuannya boleh dengan hisab, seperti penentuan waktu sholat… Dengan demikian, maka mengamalkan apa yang telah ditetapkan, dibagi, dan ada dalam kalender menjadi keharusan, dan tidak boleh meragukannya.

(Meski demikian), jika memang terdapat kesalahan, maka kementrian urusan keislaman, wakaf, dakwah, dan penyuluhan, akan menyampaikan kepada khalayak kesalahan yang memang telah terbukti terjadi.

Adapun jika ada satu orang atau seorang imam, lalu mengatakan: “Masyarakat, (waktu kita) terlalu cepat!”, yang lain mengatakan: “Jangan sholat (sekarang)!, dan yang lain lagi mengatakan: “Ulangilah sholat kalian!” atau “Sholat kalian batal (karena tidak tepat waktu)!”, maka tindakan seperti ini, merupakan tasykik (membikin keraguan) dalam hal ibadah, dan hal itu tidak boleh dilakukan kecuali dengan fatwa dari badan fatwa tertinggi di negara itu, karena ini menyangkut amal ibadah yang paling agung, dan tidak seorang pun berhak secara pribadi ikut campur dalam masalah ini. (Lihat Kitab Thulu’ul Fajris Shodiq hal. 32-35)

(b) Fatwa dari Mufti Mesir, Syeikh Jadul Haq -rohimahulloh- (tertanggal 25 Muharrom 1402 / 22 november 1981).

Soal: Banyak warga yang menanyakan kepada badan fatwa (negara Mesir), tentang isu yang disebarkan oleh sebagian kelompok, yang mengatakan bahwa: “Waktu sholat fajar yang berdasar hisab falak yang diterapkan di Mesir, terlalu cepat kira-kira 20 menit dari waktu terbitnya fajar shodiq berdasarkan tanda-tanda syar’inya, begitu pula tentang akhir waktu Maghrib dan awal waktu isya’ tidak akurat juga, dengan alasan tidak sesuai dengan keterangan yang ada dalam hadits”. (Tidak hanya itu), kelompok-kelompok ini juga mengklaim bahwa semua orang salah dalam hal ini, dan menyebarkan keraguan (sahnya) ibadah masyarakat. Terutama ketika bulan Romadhon, mereka bahkan telah menfatwakan mundurnya waktu bolehnya makan bagi yang puasa hingga terang dan jelasnya cahaya pagi, hingga melewati batas waktu fajar sebagaimana tersebut dalam hisab. Mereka berdalil dengan ayat (yang artinya): ” Makan dan minumlah (di malam hari kalian berpuasa), hingga jelas benang putihnya fajar dari benang hitamnya (malam). (Al-Baqoroh:187). Dan mereka juga mengambil dua tali hitam dan putih, lalu membolehkan makan dan minum (bagi yang puasa) hingga mereka bisa membedakan tali putih dan tali hitamnya.

Mufti menjawab: Karena banyaknya pertanyaan tentang ini, baik lewat televisi maupun tulisan, maka mufti (Negara Mesir) mengajukan masalah hisab falak untuk jadwal waktu sholat, yang disusun oleh Badan Lapan Negara Mesir dalam kalender resminya, kepada badan yang terdiri dari para tenaga ahli dalam ilmu falak, ahli teropong, dan ahli hisab falak, dari Akedemi Penelitian Ilmiyah, dari Universitas Al-Azhar, dari Universitas Al-Qohiroh, dan Badan Lapan Negara Mesir, untuk mengungkapkan pendapat yang ilmiyah, tentang perbandingan waktu-waktu syar’i dengan waktu-waktu yang ada dalam hisab yang selama ini digunakan.

Ikut dalam penelitian itu, Sayyid Ketua Majlis Kantor Bank Islam Dubai, salah satu orang yang mengirimkan pernyataan kepada Badan Fatwa (Negara Mesir) tentang tidak akuratnya hisab (waktu sholat) yang selama ini diberlakukan di Mesir, terutama untuk sholat Isya’ dan Sholat Fajar.

Akhirnya Lajnah ini mengajukan laporan akhir -setelah diadakannya penelitian tersebut- bahwa cara yang yang dipakai dalam hisab waktu sholat di Negara Mesir, sesuai dari sisi syari’at maupun falak dengan pendapat pendahulu para ulama islam yang ahli falak. Dan untuk menegaskan hal ini, maka lajnah penelitian tersebut mengusulkan untuk membentuk lajnah ilmiyah yang bertanggung jawab mengawasi (tanda-tanda syar’i) dan mencocokkannya dengan waktu-waktu syar’i, untuk waktu yang berbeda-beda, dan dalam jangka waktu dua tahun.

Karena usulan itu patut untuk disetujui, apalagi untuk memperkuat (keakuratan) waktu-waktu ibadah, utamanya sholat dan puasa, dan dengan memanfaatkan sarana yang diberikan Alloh kepada Manusia berupa ilmu “yang diajarkan kepada manusia yang sebelumnya tidak diketahuinya” (al-Alaq:5), maka Mufti berdiskusi dengan Sayyid Menteri Prof. Dr. AB, seorang ketua Akedemi Penelitian Ilmiyah, untuk membentuk lajnah yang diusulkan tersebut, menentukan tugas khususnya, dan agar memberi kemudahan dalam setiap hal yang dibutuhkan dalam penelitian tersebut dari lembaga yang terkait dengan Akademi itu, dan berkat taufiq dari Alloh telah ada kesepakatan terhadap semua langkah-langkah itu.

Dan dengan ini, Mufti (Negara Mesir) ingin menjelaskan kepada semua warganya, bahwa dirinya menegaskan keakuratan jadwal waktu hisab sholat yang ada, dan disyariatkan untuk menerapkannya, mentaatinya, dan menjadikannya sebagai dasar untuk ibadah puasa dan sholat, tentunya dengan memperhatikan perbedaan hisab waktu, karena perbedaan waktu dan tempat. (Waktu dalam kalender itu) sesuai dengan waktu-waktu syar’i yang diterangkan oleh Malaikat Jibril Alaihissalam, kepada Rosululloh -shollallohu alaihi wasallam- dengan tanda-tanda alam yang dijabarkan dalam hadits-hadits mulia, yang diriwayatkan oleh Para Pengarang Kitab Sunan dalam bab waktu-waktu sholat.

Adapun mereka yang melihat tali hitam dan putih, untuk menentukan waktu fajar dan waktu mulainya puasa, mereka telah didahului oleh seorang arab baduwi, di zaman Rosululloh -shollallohu alaihi wasallam-. Imam Bukhori dan Muslim meriwayatkan dari Sahl bin Sa’ad, ia mengatakan: Telah turun ayat (yang artinya): “Makan dan minumlah (di malam hari kalian berpuasa), hingga jelas benang putih dari benang hitam. (Al-Baqoroh:187). Ketika itu belum turun tambahan redaksi ayat “Minal Fajr” (dari fajar). Maka orang-orang jika ingin puasa, mereka mengaitkan di kedua kakinya tali hitam dan putih, dan dia tidak berhenti makan dan minum hingga bisa melihat dengan jelas (warna) kedua talinya. Maka turunlah setelahnya redaksi ayat “Minal Fajr” (dari fajar). Dengan itu, mereka tahu, bahwa yang dimaksud dengan itu adalah putihnya pagi.

Diriwayatkan dari Adi bin Hatim, ia bertanya: “Wahai Rosululloh, apakah yang dimaksud dengan (redaksi ayat) “tali putih dari tali hitam? apa benar itu dua tali (yang biasanya)?”. Beliau menjawab: “Sungguh tidurmu berarti terlalu lama, jika sampai bisa melihat dua tali itu!”, kemudian beliau mengatakan lagi: “Tidak, tapi yang dimaksud adalah hitamnya malam, dan putihnya pagi”. (HR. Bukhori). Fajar diibaratkan dengan tali/benang, karena putih yang terlihat memanjang itu seperti benang.

Rosululloh -shollallohu alaihi wasallam- telah menjelaskan tanda fajar shodiq dalam banyak hadits tentang waktu sholat yang telah kami sebutkan, dan atas dasar itulah hisab waktu sholat disusun dengan ketelitian tinggi, yang dikuatkan oleh keterangan resmi dari lajnah ilmiyah yang telah melakukan penelitiannya.

Setelah keterangan ini, maka kepada mereka yang mengatakan dalam hal agama tanpa dasar ilmu, hendaklah mereka takut kepada Alloh, sehingga manusia tidak tersesat dalam agamanya, Alloh telah memperingatkan kepada mereka (yang artinya): “Wahai manusia! Makanlah dari makanan yang halal dan baik, yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh, setan itu musuh yang nyata bagimu. Sesungguhnya setan itu hanya menyuruh kamu agar berbuat jahat dan keji, dan mengatakan apa yang tidak kamu ketahui tentang Alloh” (al-Baqoroh: 168-169)

Rosululloh -shollallohu alaihi wasallam- juga telah menjelaskan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Azzuhri, dari Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, ia mengatakan: Nabi -shollallohu alaihi wasallam- pernah mendengar suatu kaum yang berdebat tentang Alqur’an, maka beliau mengatakan: “Inilah yang merusak umat sebelum kalian, menghantamkan sebagian Kitabulloh dengan sebagian yang lain, padahal sebenarnya Kitabulloh tersebut diturunkan dengan saling membenarkan sebagian yang satu dengan sebagian yang lain, dan tidak mendustakan antara sebagian yang satu dengan sebagian yang lainnya. Maka apa yang kalian ketahui, sampaikanlah! Sedangkan yang tidak kalian ketahui, maka serahkanlah kepada yang mengetahuinya! (HR. Ahmad, no: 6453).

Kepada mereka, janganlah campur-adukkan agama dengan tujuan lain yang dikehendakinya! Yang tidak menginginkan wajah Alloh dan tidak menginginkan tegaknya agama-Nya, maka sesungguhnya kebenaran itu lebih patut untuk diikuti, (Alloh berfirman yang artinya): “Jangalah kalian campur-adukkan kebenaran dengan kebatilan, dan janganlah kamu sembunyikan kebenaran padahal kamu mengetahuinya. Dan dirikanlah sholat, tunaikanlah zakat, dan ruku’lah beserta orang-orang yang ruku’” (Albaqoroh 42-43). Wallohu subhanahu wa ta’ala a’lam.

(c) Fatwa dari Mufti Negara Palestina, Syeikh Muhammad Husein.

(sumber http://www.fpnp.name/arabic/?action=detail&id=30623)

Fatwa tentang keharusan menerapkan jadwal waktu yang resmi untuk sholat dan puasa, pada tanggal 10/9/2009

Kota Al-Quds -Media cetak Palestin-: Mufti Umum untuk Kota Al-Quds dan Negara Palestina, Muhammad Husain, mengeluarkan fatwa tentang wajibnya mengamalkan jadwal waktu yang ditetapkan oleh lembaga resmi yang berkompeten untuk mengeluarkan jadwal waktu sholat dan puasa di Negara Palestina.

Mufti juga memperingatkan dalam jumpa persnya, dari banyaknya usaha untuk menimbulkan keraguan atas keakuratan jadwal waktu sholat tersebut, dengan cara yang dapat menimbulkan keresahan dan kebingungan bagi masyarakat umum, dan itu muncul dari orang-orang yang memiliki ijtihad dan pandangan yang eksklusif dalam memahami nash-nash syar’i yang berhubungan dengan hal ini.

Mufti juga menegaskan, bahwa Jadwal waktu yang ditetapkan, telah disusun oleh lajnah yang ahli dalam bidang fikih, dan juga berpengalaman dalam hal ini, dan penentuan waktu sholat itu berdasar pada pengamatan tanda-tanda yang berhubungan dengan fajar, ghosaq, dan pergerakan matahari dan terbenamnya… sesuai keterangan-keterangan syar’i yang menyebutkan sifat dan batas tanda-tanda alam itu, dan itu telah dipraktekkan sejak bertahun-tahun lamanya.

(Akhirnya) Mufti mengajak kepada siapapun yang memiliki saran dan koreksi sekitar jadwal waktu yang berlaku, untuk memberi tahu langsung kepada lembaga yang berkompeten dalam hal ini, yakni Kementerian Wakaf dan Badan Fatwa Negara Palestina.

(d) Fatwa dari Mufti Saudi Arabia yang lalu, Syeikh Binbaz -rohimahulloh-:

Dalam keterangan resmi, yang dikeluarkan tanggal 22/7/1417 H, dari Mufti Umum Kerajaan Saudi Arabia, yang merangkap sebagai ketua Lembaga Ulama Besar, dan Ketua Kantor penelitian ilmiyah dan fatwa yang lalu, Syeikh Abdul Azin bin Baz -rohimahulloh-, berkaitan tentang jadwal waktu sholat di kalender Ummul Quro, mengatakan:

Segala puji bagi Alloh, sholawat dan salam atas Nabi kita, keluarga, dan para sahabatnya, wa ba’du:

Karena akhir-akhir ini, banyak suara dari sebagian orang tentang kalender Ummul Quro, yang mengatakan adanya kesalahan dalam penentuan waktu sholat fajar, karena terlalu cepat lima menit atau lebih, maka aku telah menugaskan lajnah yang terdiri dari para ulama, untuk pergi ke luar Kota Riyadh agar jauh dari polusi cahaya, guna mengamati terbitnya fajar dan mengetahui keakuratan kalender yang ada dengan kenyataan.

Dan lajnah itu telah memutuskan dengan kata sepakat, bahwa jadwal waktu dalam kalender itu sesuai dengan waktu terbitnya fajar, dan sungguh tidak benar apa yang disuarakan oleh sebagian orang, tentang terlalu cepatnya jadwal tersebut dari munculnya fajar.

Keterangan ini diberikan untuk menghilangkan keraguan yang membingungkan sebagian orang di dalam sholatnya, dan Alloh-lah yang maha pemberi taufiq dan pemberi petunjuk kepada jalan yang lurus. (Lihat Kitab Thulu’ul Fajris Shodiq: 31-32)

(e) Fatwa Syeikh Sholeh Fauzan

(sumber: http://www.alradnet.com/TopSin/article.php?id_Hour=72)

Belum lama ini, kita melihat sebagian orang ingin merubah cara ini, mereka menampakkan pendapatnya pada masalah-masalah yang tidak sepatutnya mereka menampakkan pendapatnya, sehingga menjadikan masyarakat bingung dalam urusan ibadah, mu’amalah dan akidah mereka. Seperti ikut campur mereka dalam masalah waktu sholat, mereka mulai membuat masyarakat ragu-ragu terhadapnya, dan menyebarkan isu bahwa orang-orang mendirikan sholat sebelum masuk waktunya. Mereka mengatakan, dalam kalender Ummul Quro ada kesalahan hisab, padahal itu merupakan kalender yang ditetapkan oleh waliyul amri, dan ditetapkan oleh para ulama sejak dahulu kala, dan tidak pernah terjadi kesalahan dalam prakteknya sejak puluhan tahun yang lalu.

Ada juga fatwa beliau yang berupa rekaman suara, anda bisa dengar dari link berikut ini:

http://www.midad.me/mediaFrame/fatwa/337790/337790

(f) Observasi dari Syeikh Abu Bakar Al-Jazairi dan banyak thullab ilmi di masanya.

Diceritakan bahwa Al-Allamah Syeikh Abu Bakar Al-Jazairi ketika mengunjungi Kota Iskandariyah (Ibu Kota Mesir) tahun 1406 H, ia keluar bersama sekelompok besar thullabul ilmi pilihan yang ada di Kota itu -diantaranya: Syeikh Muhammad bin Isma’il al-Muqoddam, Syeikh Ahmad Farid, Syeikh Sayyid Al-Ghobbasyi, Syeikh Imad Abdul Ghofur, dan yang lainnya- dengan beberapa mobil di pantai utara, untuk mengamati fajar shodiq dan fajar kadzib, karena pada saat itu telah tersebar tulisannya Syeikh Abdul Malik al-Kulaib, yang isinya membuat orang ragu dengan (keakuratan) kalender resmi, ia mengklaim bahwa waktu yang benar itu setelah waktu yang tertera di kalender 20 menit lamanya.

Oleh karena itu, mereka keluar, lalu syeikh Abu Bakar memperlihatkan kepada mereka, bahwa fajar shodiq itu muncul sesuai dengan kelender resmi yang berlaku di Negara Mesir. Dan mereka semua melihat dengan mata kepala sendiri, kadang fajar shodiq itu muncul setelah waktu yang ada di kalender 2 atau 3 menit saja, tapi Syeikh Abu Bakar memberitahu mereka, bahwa keterlambatan munculnya fajar, selama 2 menit itu karena kesalahan mereka, sehingga waktu kalender itu sudah benar.

Syeikh juga memberitahu mereka bahwa ia telah lama hidup di pedesaan, dan mempunyai pengalaman yang cukup dalam hal mengamati masuknya waktu shalat dengan mata telanjang. Oleh karena itu, kami tidak mungkin mendustakan apa yang kami lihat dengan mata kami, hanya karena hisab dan teori orang lain. Dan isu yang serupa juga dihembuskan di Negara Saudi, lalu Lajnah Da’imah telah menugaskan tim untuk mengamati waktu fajar dengan pandangan mata, dan mereka menyatakan bahwa kalender Ummul Quro itu akurat. (Lihat Thulu’ul Fajris Shodiq, hal: 23-24)

(g) Observasi dari Syeikh Muhammad alu Abdil Muhsin Ad-Du’aij, tahun 1938:

Dr. Sholih bin Muhammad al-Ujairi, seorang peneliti falak terkenal dari Negara Kuwait, mengatakan: “Aku masih ingat, pada tahun 1938 M, Muhammad alu Abdil Muhsin Ad-Du’aij –rohimahulloh- bercerita padaku, bahwa ia dahulu mengamati terbitnya fajar dengan menggunakan kalender as-Shobbagh yang berlaku di Negeri Mesir, dan hasilnya mendekati benar di semua musim sepanjang tahun”. (Thulu’ul Fajris Shodiq, hal: 148)

(h) Observasi dari lembaga IPTEK “Madinah Malik Abdul Aziz” :

Prof. Dr. Ibrohim As-Shubaihi mengatakan: Lembaga IPTEK Madinah Malik Abdul Aziz, telah membentuk lajnah kedua yang terdiri dari 6 peneliti falak untuk kajian “syafaq” pada tahap kedua. Lajnah tersebut pada tahun 1427 H, telah melakukan kegiatan kunjungan ke beberapa propinsi di Kerajaan Saudi Arabia, diantaranya adalah propinsi bagian utara, dan mereka melihat bahwa shubuh terbit setelah jadwal yang tertera dalam kalender Ummul Quro sekitar 3 menit, yakni mendekati derajat 18,5.

Ini menjadi bukti keakuratan kalender Ummul Quro, dan menafikan pendapat yang mengatakan bahwa waktu shubuhnya didasarkan pada fajar kadzib. Ini juga menjadi saksi benarnya apa yang ditetapkan oleh Syeikh Abdulloh Al-Khudhoiri (dalam pengamatannya dengan mata telanjang). Dan kesaksian lajnah tersebut (pada tahap kedua ini) bertentangan dengan ketetapan yang mereka buat pada tahap pertamanya. (Thulu’ul Fajris Shodiq, hal: 152)

(i) Fatwa dari Syeikh Abdulloh bin Sulaiman bin Mani’ (Anggota dari Hai’ah Kibar Ulama di Negara Saudi)

Soal: Bismillahirrohmanirrohim, aku mohon agar kalian mau menjelaskan padaku hukum syar’i dalam masalah ini. Ada seseorang yang menyebarkan tulisan berjudul “Tanbihul anam bibuthlani sholatil fajri fil masjidil harom” (peringatan bagi manusia, tentang batalnya sholat fajar di masjidil harom), orang ini beranggapan bahwa sholat fajar di masjidil harom makkah itu tidak sah, karena mereka sholat sebelum masuk waktunya. Apa pendapat kalian dalam masalah ini? Apa penilaian kalian terhadap orang seperti ini dan yang lainnya dalam tindakannya membuat keraguan terhadap kalender yang ada? Jazakamullohu khoiro.

Jawab: Segala puji bagi Alloh, tak diragukan lagi bahwa pendapat ini batil dan sama sekali tidak benar, karena masalah penentuan waktu sholat itu telah diserahkan kepada lajnah yang ahli dalam ilmu syar’i dan ilmu falak. Lajnah itu telah berusaha dan akan terus berusaha untuk mengurusi masalah itu, dan teliti dalam menentukan jadwal waktu sholat. Alhamdulillah lajnah ini telah menjalankan tugasnya dan dia yang akan bertanggung-jawab penuh atasnya.

Ucapan mereka itu, termasuk dalam sikap berlebih-lebihan dalam agama, padahal Rosul kita -shollallohu alaihi wasallam- telah bersabda: “Janganlah kalian berlebih-lebihan, karena hal itu telah merusak umat sebelum kalian!”. (HR. Nasa’i:3057 dan Ibnu Majah: 3029) dari hadits riwayat Ibnu Abbas –rodhiallohu anhuma-.

Itu juga termasuk dalam sikap waswas dan tanaththu’ (ekstrim), padahal Rosul -shollallohu alaihi wasallam- telah bersabda: “Binasalah orang-orang yang tanaththu’” (HR. Muslim: 2670) dari hadits riwayat Ibnu Mas’ud -rodhiallohu anhu-.

Oleh karena itu, hendaknya kita tidak menghiraukan pendapat-pendapat yang seperti ini, yang bersumber dari terkaan dan jauh dari kenyataan, serta tidak percaya kepada lembaga yang ahli dalam bidangnya dan memiliki kelebihan dalam bidang ilmu syariat dan ilmu falak. Wajib bagi kita untuk membuang jauh pendapat seperti ini dan jangan sampai menghiraukannya, karena ini merupakan tindakan skeptis yang tidak pada tempatnya, ditambah lagi mereka tidak memiliki dalil nyata yang mendukungnya. Adapun kalender Ummul Quro, ia disusun atas dasar ketentuan yang mendetail, baik dalam hal yang berhubungan dengan observasi maupun dalam hal yang berhubungan dengan hisab falak yang sekarang telah diakui dan digunakan, dalam hal yang berhubungan dengan masalah ini, wallohu a’lam.

(j) Syeikh al-Utsaimin dalam liqo’ bab maftuh.

Soal: Yang terhormat Syeikh Abdul Aziz bin Baz -hafidhohulloh- telah mengeluarkan fatwa bahwa kalender Ummul Quro dalam adzan shubuh, benar-benar sesuai dengan terbitnya fajar di Kota Riyadh, apakah hal ini bisa diterapkan pada semua kota di kerajaan Saudi Arabia?

Jawab: Demi Alloh aku tidak tahu, andai saja kalian menanyakan kepadanya! Karena dia yang mengeluarkan penjelasan itu. Masalahnya sederhana, karena perbedaannya -sebagaimana pendapat yang kami pilih- hanya 5 menit saja, dan apabila ia mengakhirkan 5 menit dari waktunya, maka itu tidak ada bedanya, meski ia mengatakan: “Barangsiapa mengambil manfaat sesuatu, maka hendaknya ia menanggung pula resikonya”. Yang terpenting adalah masalah sholat fajar, adapun masalah puasa, jika ia terlalu cepat 5 menit, itu tidak ada bedanya.

Penanya: (Bagaimana) jika untuk puasanya ia mengakhirkan 5 menit dari waktu kalender?

Syeikh: Jika dikatakan kalender itu benar dan dia berhenti makan sebagaimana jadwal di kalender, sedang kita mengatakan bahwa yang benar itu terlalu cepat 5 menit, maka hal ini tidak menjadi masalah. Yang penting adalah sholatnya, di dalam masalah sholat, jika ia mengakhirkan sholat 5 menit untuk hati-hati, itu tidak masalah.

Penanya: Masalahnya, mengakhirkan waktu berhenti makan untuk puasanya, para muadzin sekarang mengakhirkan adzannya hingga 10 atau 15 menit dari kalender?

Syeikh: Sesuatu yang datang dari Mufti Kerajaan (Saudi Arabia) tidak boleh kita ikut campur di dalamnya, dan selamanya kita tidak boleh menyelisihinya. Tapi kita katakan, khusus yang berkenaan dengan sholat, seseorang hendaknya berhati-hati dengan mengakhirkan sholatnya 5 menit, itu tidak masalah.

(k) MUI Yogyakarta tanggapi kontroversi sholat subuh (Jumat, 28 Agustus 2009)

YOGYA (KRjogja.com) – Terkait munculnya selebaran yang marak beredar di masyarakat mengenai jadwal waktu subuh yang menyesatkan, MUI DIY menghimbau kepada masyarakat untuk tetap waspada terhadap segala hal yang dapat memecah belah umat Islam.

Seperti disampaikan Sekretaris MUI DIY, KRT Ahmad Muhsin Kamaludiningrat, pihaknya beberapa waktu lalu mendapatkan keluhan dari takmir Masjid Gedhe Kauman mengenai jadwal waktu shalat subuh yang digunakan di Indonesia dan negara-negara lain, tidak sesuai dengan syariat Islam dan salah kaprah.

“Mendapat usulan tersebut, kami langsung menggelar pertemuan dengan seluruh jajaran MUI DIY guna membahas akar permasalahannya supaya tidak menimbulkan konflik horizontal serta perpecahan umat Islam itu sendiri,” jelasnya kepada KRjogja.com, Jumat (28/8) siang.

Oleh karena itu, MUI DIY telah mengeluarkan maklumat kepada seluruh umat muslim, bahwa jadwal shalat subuh yang dikeluarkan oleh pemerintah maupun ormas Islam seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama, adalah hasil hitungan para ulama dan ahli syar’i. Sehingga jadwal tersebut sudah sesuai dengan syar’i yang bersumber pada Al-qur’an dan Sunnah Rasul.

“Kami harap, masyarakat Muslim, khususnya yang berada di Yogyakarta untuk tidak ragu dan resah menggunakan jadwal tersebut dalam melakukan ibadah shalat, termasuk awal shalat subuh. Masyarakat juga harus waspada terhadap upaya-upaya yang dapat memecah belah umat Islam,” tegas Ahmad Muhsin.

Sementara itu, Ketua Takmir Masjid Gedhe, Budi Setiawan, saat dikonfirmasi KRjogja.com membenarkan hal tersebut. “Selebaran mengenai jadwal waktu subuh yang dinilai menyesatkan tersebut diambil dari sebuah artikel dalam majalah Qiblati. Sebenarnya dalam dunia maya hal itu sudah muncul sejak akhir Juli lalu dan sempat membuat gempar masyarakat Muslim,” ujarnya.

Isi selebaran menjelaskan jika waktu awal subuh yang selama ini digunakan terlalu cepat 22 menit sehingga belum masuk waktu subuh yang sebenarnya. Hal itu disertai dengan penjelasan-penjelasan yang dapat melemahkan umat Islam. “Lebih jelasnya silahkan searching di internet dengan kata kunci shalat subuh salah kaprah,” pungkasnya. (Dhi)

(l) Jawaban dari T. Djamaludin (Anggota BHR Depag RI/Peneliti Utama Astronomi-Astrofisika LAPAN)

Catatan: Beberapa waktu lalu di majalah Qiblati (yang dikutip juga oleh beberapa blog) ada serangkaian tulisan bertema “Salah Kaprah Waktu Shubuh”. Dalam pertemuan Badan Hisab Rukyat (BHR) Depag RI di Jakarta, 3-4 Agustus 2009 lalu, masalah tersebut sempat dibahas dan saya diminta untuk menuliskan tanggapannya untuk menjadi pencerahan bagi masyarakat. Catatan di bawah ini adalah hasil kajian lengkapnya sebagai tindak lanjut diskusi di BHR tersebut.

Jadwal Waktu Shubuh Terlalu Cepat?

Waktu shubuh ditinjau dari dalil syar’i dan astronomi

Penentuan waktu shubuh diperlukan untuk penentuan awal shaum (puasa) dan shalat. Tentang waktu awal shaum disebutkan dalam Al-Quran, “… makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar” (QS 2:187). Sedangkan tentang awal waktu shubuh disebutkan di dalam hadits dari Abdullah bin Umar, “… dan waktu shalat shubuh sejak terbit fajar selama sebelum terbit matahari” (HR Muslim). Fajar yang bagaimana yang dimaksudkan tersebut? Hadits dari Jabir merincinya, “Fajar ada dua macam, pertama yang melarang makan, tetapi membolehkan shalat, yaitu yang terbit melintang di ufuk. Lainnya, fajar yang melarang shalat (shubuh), tetapi membolehkan makan, yaitu fajar seperti ekor srigala” (HR Hakim). Dalam fikih kita mengenalnya sebagai fajar shadiq (benar) dan fajar kidzib (palsu).

Lalu fajar shadiq seperti apakah yang dimaksud Rasulullah SAW? Dalam hadits dari Abu Mas’ud Al-Anshari disebutkan, “Rasulullah SAW shalat shubuh saat kelam pada akhir malam, kemudian pada kesempatan lain ketika hari mulai terang. Setelah itu shalat tetap dilakukan pada waktu gelap sampai beliau wafat, tidak pernah lagi pada waktu mulai terang.” (HR Abu Dawud dan Baihaqi dengan sanad yang shahih). Lebih lanjut hadits dari Aisyah, “Perempuan-perempuan mukmin ikut melakukan shalat fajar (shubuh) bersama Nabi SAW dengan menyelubungi badan mereka dengan kain. Setelah shalat mereka kembali ke rumah tanpa dikenal siapapun karena masih gelap.” (HR Jamaah).

Karena saat ini waktu-waktu shalat lebih banyak ditentukan berdasarkan jam, perlu diketahui kriteria astronomisnya yang menjelaskan fenomena fajar dalam dalil syar’i tersebut. Perlu penjelasan fenomena sesungguhnya fajar kidzib dan fajar shadiq. Kemudian perlu batasan kuantitatif yang dapat digunakan dalam formulasi perhitungan untuk diterjemahkan dalam rumus atau algoritma program komputer.

Fajar kidzib memang bukan fajar dalam pemahaman umum, yang secara astronomi disebut cahaya zodiak. Cahaya zodiak disebabkan oleh hamburan cahaya matahari oleh debu-debu antarplanet yang tersebar di bidang ekliptika yang tampak di langit melintasi rangkaian zodiak (rangkaian rasi bintang yang tampaknya dilalui matahari). Oleh karenanya fajar kidzib tampak menjulur ke atas seperti ekor srigala, yang arahnya sesuai dengan arah ekliptika. Fajar kidzib muncul sebelum fajar shadiq ketika malam masih gelap.

Fajar shadiq adalah hamburan cahaya matahari oleh partikel-partikel di udara yang melingkupi bumi. Dalam bahasa Al-Quran fenomena itu diibaratkan dengan ungkapan “terang bagimu benang putih dari benang hitam”, yaitu peralihan dari gelap malam (hitam) menunju munculnya cahaya (putih). Dalam bahasa fisika hitam bermakna tidak ada cahaya yang dipancarkan, dan putih bermakna ada cahaya yang dipancarkan. Karena sumber cahaya itu dari matahari dan penghamburnya adalah udara, maka cahaya fajar melintang di sepanjang ufuk (horizon, kaki langit). Itu pertanda akhir malam, menjelang matahari terbit. Semakin matahari mendekati ufuk, semakin terang fajar shadiq. Jadi, batasan yang bisa digunakan adalah jarak matahari di bawah ufuk.

Secara astronomi, fajar (morning twilight) dibagi menjadi tiga: fajar astronomi, fajar nautika, dan fajar sipil. Fajar astronomi didefinisikan sebagai akhir malam, ketika cahaya bintang mulai meredup karena mulai munculnya hamburan cahaya matahari. Biasanya didefinisikan berdasarkan kurva cahaya, fajar astronomi ketika matahari berada sekitar 18 derajat di bawah ufuk. Fajar nautika adalah fajar yang menampakkan ufuk bagi para pelaut, pada saat matahari berada sekitar 12 derajat di bawah ufuk. Fajar sipil adalah fajar yang mulai menampakkan benda-benda di sekitar kita, pada saat matahari berada sekitar 6 derajat.

Fajar apakah sebagai pembatas awal shaum dan shalat shubuh? Dari hadits Aisyah disebutkan bahwa saat para perempuan mukmin pulang dari shalat shubuh berjamaah bersama Nabi SAW, mereka tidak dikenali karena masih gelap. Jadi, fajar shadiq bukanlah fajar sipil karena saat fajar sipil sudah cukup terang. Juga bukan fajar nautika karena seusai shalat pun masih gelap. Kalau demikian, fajar shadiq adalah fajar astronomi, saat akhir malam.

Apakah posisi matahari 18 derajat mutlak untuk fajar astronomi? Definisi posisi matahari ditentukan berdasarkan kurva cahaya langit yang tentunya berdasarkan kondisi rata-rata atmosfer. Dalam kondisi tertentu sangat mungkin fajar sudah muncul sebelum posisi matahari 18 di bawah ufuk, misalnya saat tebal atmosfer bertambah ketika aktivitas matahari meningkat atau saat kondisi komposisi udara tertentu – antara lain kandungan debu yang tinggi – sehingga cahaya matahari mampu dihamburkan oleh lapisan atmosfer yang lebih tinggi. Akibatnya, walau posisi matahari masih kurang dari 18 derajat di bawah ufuk, cahaya fajar sudah tampak.

Para ulama ahli hisab dahulu sudah merumuskan definisi fajar shadiq dengan kriteria beragam, berdasarkan pengamatan dahulu, berkisar sekitar 17 – 20 derajat. Karena penentuan kriteria fajar tersebut merupakan produk ijtihadiyah, perbedaan seperti itu dianggap wajar saja. Di Indonesia, ijtihad yang digunakan adalah posisi matahari 20 derajat di bawah ufuk, dengan landasan dalil syar’i dan astronomis yang dianggap kuat. Kriteria tersebut yang kini digunakan Departemen Agama RI untuk jadwal shalat yang beredar di masyarakat.

Kalau saat ini ada yang berpendapat bahwa waktu shubuh yang tercantum di dalam jadwal shalat dianggap terlalu cepat, hal itu disebabkan oleh dua hal:

Pertama, ada yang berpendapat fajar shadiq ditentukan dengan kriteria fajar astronomis pada posisi matahari 18 derajat di bawah ufuk, karena beberapa program jadwal shalat di internet menggunakan kriteria tersebut, dengan perbedaan sekitar 8 menit.

Kedua, ada yang berpendapat fajar shadiq bukanlah fajar astronomis, karena seharusnya fajarnya lebih terang, dengan perbedaan sekitar 24 menit. Pendapat seperti itu wajar saja dalam interpretasi ijtihadiyah.

Dalam seri keenam ini, penulis akan nukilkan definisi fajar shodiq dari beberapa ulama yang perkataannya dijadikan sandaran pendapat yang mengatakan terlalu cepatnya waktu shubuh yang ada dalam kalender-kalender pada umumnya, semoga dengan ini kita bisa memaklumi perbedaan pendapat yang ada…

1. Sayyid Abdul Malik Ali Al-Kulaib -rohimahulloh-:

الفجر الصادق هو المنشر في الأفق

Fajar shodiq adalah fajar yang (sinarnya) menyebar di ufuk (Thulu’ul Fajris Shodiq, hal: 130)

2. Syeikh Musthofa Al-Adawi -hafidhohulloh-:

فبهذا يتضح جليا أن أول وقت الفجر هو ذلك البياض المستطير الذي يملأ الأفق مستعرضا ناحية الشرق

وهو الفجر الصادق الذي يظهر مستطيرا أبيضا في عرض السماء في اتجاه المشرق في موضع طلوع الشمس

“Dengan demikian, jelaslah bahwa awal waktu fajar itu mulai dari warna putih yang menyebar, memenuhi ufuk, dan mendatar di arah timur (Yawaqitul falah fi mawaqitis sholah, hal: 122)

(Di tempat lain, beliau mengatakan:) “Fajar shodiq adalah fajar putih yang menyebar di langit, di arah timur, tepat di tempat terbitnya matahari. (Yawaqitul falah fi mawaqitis sholah, hal: 127)

3. Dr. Sulaiman bin Ibrohim Ats-Tsunayyan:

الفجر عند العرب ضوء الصباح, وهو حمرة الشمس في سواد الليل

فطلوع الفجر الذي تجب به صلاة الفجر لا يحتاج إلى حسابات فلكية مهما تغيرت الظروف المحيطة بالناس, كوجود الأضواء الساطعة والعمائر الشاهقة, وغير ذلك من تغير الأحوال

Fajar menurut orang arab adalah sinarnya pagi, yaitu merahnya sinar matahari di gelapnya malam (Auqotus sholawatil mafrudhoh, hal: 84)

Terbitnya fajar yang menjadikan wajibnya sholat shubuh itu tidak perlu menggunakan hisab falak, bagaimanapun perubahan lingkungan sekitar manusia itu terjadi, seperti adanya (polusi) cahaya yang terang, gedung yang menjulang, dan perubahan-perubahan lingkungan yang lainnya. (Auqotus sholawatil mafrudhoh, hal: 130)

Dalam tanggapannya terhadap pernyataan di atas, Prof. Dr. Ibrohim bin Muhammad As-Shubaihi mengatakan: “(Kalau fajar shodiq itu, seperti yang digambarkan di sini), maka ada masalah besar di dalamnya, karena cahaya subuh yang seperti itu, (yakni tetap tampak meski banyak polusi cahaya dan gedung yang menjulang), adalah cahaya yang bisa mengalahkan semua cahaya yang terang, bahkan tidak bisa terhalang oleh gedung yang menjulang sekalipun. Dan sudah dimaklumi, cahaya yang sifatnya seperti ini, bukanlah cahaya yang diserupakan dengan “benang putih”, tapi ia adalah cahaya matahari saat akan terbit. Dengan demikian, pendapat ini selaras dengan pendapatnya Al-A’masy, yang dianggap syadz (ganjil) oleh para imam, kerena menyelisihi petunjuk Alqur’an dan Assunnah”. (Thulu’ul Fajris shodiq, hal: 121)

4. Syeikh Taqiyuddin al-Hilali -rohimahulloh-:

وأوسط الأقوال الذي نفتي به ونعمل به أخذا من هذه الأحاديث كلها, أن الفجر الصادق الذي يحرم الطعام على الصائم ويحل الصلاة هو كما قال النبي صلى الله عليه وسلم الفجر الأحمر, أي الذي يشوب بياضه حمرة المعترض في الأفق, الذي يملأ البيوت والطرقات, ولا يختلف فيه أحد من الناس, يشترك في معرفته جميع الناس، وأما غير ذلك كالفجر الذي يعينه المؤقت المغربي فإنه باطل لا يحرم طعاما على الصائم ولا يحل صلاة الصبح, ونحن بعده أكثر من نصف ساعة حتى يتبين الفجر الصادق, فهذا الذي ندين الله به

Pendapat yang paling baik, yang kami fatwakan dan kami amalkan, berdasar pada semua hadits ini adalah, bahwa fajar shodiq yang mengharamkan makanan bagi yang puasa dan membolehkan sholat, itu fajar yang seperti disabdakan oleh Nabi -shollallohu alaihi wasallam-, yakni fajar yang berwarna merah, yaitu fajar yang putihnya tercampur dengan warna merah dan berbentuk mendatar di ufuk, fajar yang memenuhi perumahan dan jalanan, yang tidak mungkin diperselisihkan oleh siapapun, dan fajar yang semua orang bisa mengetahuinya.

Adapun fajar yang selain itu, seperti fajar yang ditentukan oleh jadwal waktu di kota maroko ini, maka sungguh itu fajar yang batil, tidak mengharamkan makanan bagi yang berpuasa, dan tidak membolehkan sholat shubuh. Sedangkan (menurut) kami, fajar shodiq itu terbit setelahnya lebih dari 30 menit, inilah pendapat yang kami yakini sebagai Agama Alloh. (Thulu’ul Fajris shodiq, hal: 115)

5. Syeikh Muhammad Rosyid Ridho -rohimahulloh-:

إن نص الآية منوط بدء الصيام بأن يتبين للناس بياض النهار فاصلا من سواد الليل, بحيث يراه كل من وجه نظره إلى جهة المشرق, وقيل بحيث يرونه في طرقهم وبيوتهم ومساجدهم

Sesungguhnya teks ayat ini menggantungkan awal puasa, dengan jelasnya sinar putihnya pagi yang menjadi pemisah bagi kelamnya malam, hingga dapat dilihat oleh semua orang yang mengarahkan pandangannya ke arah timur, dan ada yang mengatakan: hingga orang-orang bisa melihat (sinar fajar)-nya di jalanan, perumahan dan masjid mereka. (Tafsir Al-Manar, 2/180)

6. Syeikh Albani -rohimahulloh-:

فالفجر عند سطوع النور الأبيض وانتشاره في الأفق

واعلم أنه لا منافاة بين وصفه عليه الصلاة والسلام لضوء الفجر الصادق بالأحمر, ووصفه تعالى إياه بقوله “الخيط الأبيض”, لأن المراد –والله أعلم- بياض مشوب بحمرة، أو تارة يكون أبيض، وتارة يكون أحمر, يختلف ذلك باختلاف الفصول والمطالع

Fajar adalah ketika sinar putih memancar dan menyebar di ufuk. (silsilah shohihah 7/1303)

“Ketahuilah, tidak ada pertentangan antara sifat “merah” yang diberikan oleh Nabi -shollallohu alaihi wasallam- untuk fajar shodiq ini, dengan sifat “benang putih” yang diberikan oleh Alloh ta’ala kepadanya. Karena -wallohu a’lam- yang dimaksud adalah: Fajar putih yang tercampuri warna merah, atau kadang putih dan kadang merah, tergantung perbedaan musim dan matla’ (tempat munculnya fajar)”. (Lihat di silsilah shohihah, hadits no: 2031)

Inilah pendapat beliau tentang fajar shodiq, jelas di sini beliau menyatakan bahwa fajar shodiq harus sudah menyebar di ufuk, dan ini menyelisihi pendapat mayoritas ulama… Ditambah lagi, apa yang dikemukakan oleh syeikh Albani bahwa waktu subuh kita terlalu cepat antara 20-30 menit, itu berdasarkan pengamatan yang dilakukan beliau dari kediamannya, dan tentunya kita tahu, observasi yang demikian kurang memenuhi syarat jika dijadikan sebagai patokan, karena adanya polusi cahaya yang bisa mengganggu pandangan mata dalam melihat langsung awal kemunculan fajar shodiq, wallohu a’lam.

7. Ciri-ciri fajar shodiq yang disebutkan oleh Lembaga IPTEK Madinah Malik Abdul Aziz:

تخالطه الحمرة أحيانا, خاصة إذا كانت السماء صافية

يملأ الأسواق والطرقات داخل البنيان

(Fajar shodiq itu) kadang dicampuri warna merah, khususnya ketika langit cerah.

Sinarnya (fajar shodiq) itu memenuhi pasar dan jalanan yang ada dalam komplek perumahan. (Proyek kajian untuk syafaq, hal 14, lihat juga hal 27)

8. Majalah Qiblati menyebutkan:

“Dari dalil-dalil ini, menjadi jelas bagi kita kapan waktu fajar shadiq. Kita bisa mengenalinya dengan sinar terang yang menyebar di langit“. (Salah kaprah, bag 1)

“Sifat sinar Subuh yang terang itu, ia menyebar dan meluas di langit, sinarnya (terangnya) dan cahayanya memenuhi dunia hingga memperlihatkan jalan-jalan menjadi jelas.” (Salah kaprah, bag 1)

Inilah definisi dan ciri-ciri fajar shodiq yang disebutkan oleh para ulama yang mengatakan bahwa waktu fajar kita terlalu cepat. Definisi-definisi mereka, meski redaksinya berbeda-beda, tapi memiliki titik persamaan, yaitu: Fajar shodiq tidak dianggap kecuali setelah sempurna wujudnya, dengan ciri-ciri yang mereka sebutkan, misalnya: Dengan munculnya warna merah, sinarnya memenuhi ufuk, atau bahkan sinarnya memenuhi langit, perumahan, dan jalanan.

Definisi fajar shodiq inilah yang melatar belakangi pendapat mereka, bahwa waktu shubuh kita terlalu cepat 15-30 menit.

Syeikh Abdulloh Muhammad al-Khudhoiri mengatakan: Antara muncul dan meningginya benang putih hingga keluarnya cahaya merah yang ada di bawahnya, itu sekitar 15 menit. (Thulu’ul fajris shodiq, hal 151-152)

Senada dengan ini apa yang dikatakan oleh Prof. Dr. Ibrohim bin Muhammad Ash-Shubaihi, ia mengatakan: Telah diketahui dengan observasi, bahwa warna merah ini tidak akan terlihat, kecuali setelah munculnya warna putih, kira-kira 15 menit. (Thulu’ul fajris shodiq, hal. 120)

Lalu bandingkanlah pendapat ulama yang mengatakan waktu subuh kita terlalu cepat, dengan pendapat mayoritas ulama yang datang sebelum mereka berikut ini:

1. Ucapan Ahli Tafsir terkemuka, Abu Hayyan Al-Andalusi -rohimahulloh-, ketika beliau menafsiri ayat Al-Baqoroh: 187:

وشبه بالخيط, وذلك بأول حاله, لأنه يبدو دقيقا, ثم يرتفع مستطيرا, فبطلوع أوله في الأفق يجب الإمساك, هذا هو مذهب الجمهور, وبه أخذ الناس, ومضت عليه الأعصار والأمصار, وهو مقتضى حديث ابن مسعود وسمرة بن جندب

Fajar shodiq itu diserupakan dengan benang, dan itu saat awal munculnya, karena ia pada mulanya terlihat tipis, kemudian meninggi dan menyebar. Dan dengan awal munculnya di ufuk, orang yang berpuasa wajib berhenti makan, ini adalah pendapatnya mayoritas ulama, dipilih oleh semua orang, dan telah berjalan di seluruh masa dan tempat. Dan inilah yang ditunjukkan oleh hadits Ibnu Mas’ud dan Samuroh bin Jundub. (Tafsir Al-Bahrul Muhith 2/216)

2. Perkataan Al-Jashshosh dalam Ahkamul Qur’an:

ولا خلاف بين المسلمين أن الفجر الأبيض المعترض في الأفق قبل ظهور الحمرة, يحرم به الطعام والشراب على الصائم

“Tidak ada perbedaan pendapat di antara kaum muslimin, bahwa dengan munculnya fajar putih yang mendatar di ufuk sebelum munculnya warna merah, makan dan minum menjadi haram bagi yang puasa. (Ahkamul Qur’an 1/229)

3. Ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah:

قال شيخ الإسلام ابن تيمية –رحمه الله-: تسميته لبياض النهار وسواد الليل بالخيط الأبيض والخيط الأسود, دليل على أنه أول البياض الذي يبين في السواد مع لطفه ودقته, فإن الخيط يكون مستدقا

“Penamaan Alloh putihnya siang dan hitamnya malam dengan istilah ‘benang putih‘ dan ‘benang hitam‘, adalah dalil bahwa fajar shodiq itu permulaan putih yang tampak di kegelapan, dengan bentuk yang halus dan tipis. (Yang demikian itu) karena ‘benang‘ itu bentuknya tipis. (Syarhul Umdah, kitab shiyam, 1/530).

4. Al-Fakhrur Rozi, dalam kitab tafsirnya mengatakan:

أن القدر من البياض الذي يحرم هو أول الصبح الصادق وأول الصبح الصادق لا يكون منتشراً بل يكون صغيراً دقيقا

Sesungguhnya kadar sinar putih yang mengharamkan (makan dan minum bagi yang puasa) adalah awal munculnya fajar shodiq, dan awal munculnya fajar shodiq itu tidak menyebar, tapi terlihat kecil dan tipis (Mafatihul Ghoib 5/93)

5. Al-Alusi dalam tafsirnya mengatakan:

الخيط الأبيض وهو أول ما يبدو من الفجر الصادق المعترض في الأفق قبل إنتشاره

“Al-Khoitul Abyadh” adalah awal munculnya fajar shodiq yang mendatar di ufuk, sebelum sinarnya menyebar. (Tafsir Ruhul Ma’ani, 2/66)

6. Dari ulama kontemporer, Syeikh Muhammad bin Sholih al-Utsaimin:

ومن فوائد الآية: أن الاعتبار بالفجر الصادق الذي يكون كالخيط ممتداً في الأفق

Diantara pelajaran dari ayat ini, bahwa fajar shodiq yang mu’tabar adalah fajar shodiq yang seperti benang memanjang di ufuk. (Tafsir Syeikh al-Utsaimin 4/289)

7. Dr. Sholih bin Muhammad al-Ujairi -hafidhohulloh-:

قال الأستاذ الدكتور إبراهيم بن محمد الصبيحي -حفظه الله-: وقد سألت الدكتور صالح بن محمد العجيري الفلكي المعروف “هل من صفات تبين الخيط الأبيض تغير ألوانه, فتاره يكون أحمر, وأخرى تشوبه الحمرة؟” فنفى ذلك, والله أعلم

Prof. Dr. Ibrohim bin Muhammad As-Shubaihi -hafidhohulloh- mengatakan: Aku telah menanyakan kepada Ahli falak terkenal Dr. Sholih bin Muhammad al-Ujairi “Apakah jelasnya benang putih itu dibarengi dengan perubahan warna, sehingga kadang warnanya merah, dan kadang warnanya merah tipis?” maka beliau menafikan hal itu. (Thulu’ul fajris shodiq, hal 109-110)

8. Syeikh Sholeh Alu Syeikh -hafidhohulloh-:

وبياض الصبح أول ما ينفجر

Yang dimaksud dengan putihnya sinar shubuh (fajar shodiq) adalah, awal mula memancarnya (sinar fajar shodiq). (Manahijul Mufassirin, karya Syeikh Sholih Alu Syeikh, 1/4)

9. Syeikh Thontowi -rohimahulloh-:

والمقصود من الخيط الأبيض : أول ما يبدو من الفجر الصادق المعترض في الأفق قبل انتشاره

Maksud dari redaksi “Al-Khoitul Abyadh” adalah: Awal mula fajar shodiq yang mendatar di ufuk, sebelum sinarnya menyebar. (Tafsir al-Wasith, 1/314)

Inilah pendapat mayoritas ulama islam, mereka mengatakan bahwa fajar shodiq sudah diberlakukan hukumnya ketika awal munculnya, bukan pada saat telah sempurna fajarnya. Otomatis dengan perbedaan ini, akan berbeda pula waktu masuknya sholat shubuh antara mereka dengan mayoritas ulama islam dunia, wallohu a’lam.

Ada yang mengira bahwa perkataan Al-Hafidz Ibnu Hajar berikut ini, merupakan dalil bahwa waktu sholat shubuh kita terlalu cepat:

من البدع المنكرة ما أحدث في هذا الزمان من إيقاع الأذان الثاني قبل الفجر بنحو ثلث ساعة في رمضان, وإطفاء المصابيح التي جعلت علامة لتحريم الأكل والشرب على من يريد الصيام زعما ممن أحدثه أنه للاحتياط في العبادة, ولا يعلم بذلك إلا آحاد الناس

Termasuk bid’ah yang mungkar adalah bid’ah yang diadakan pada masa ini, yakni dengan mengumandangkan adzan kedua di Bulan Romadhon sebelum terbitnya fajar sekitar 20 menit dan memadamkan lentera-lentera yang dijadikan tanda haramnya makan dan minum bagi mereka yang hendak puasa. Orang yang mengada-adakan hal itu menganggapnya sebagai bentuk kehati-hatian dalam pelaksanaan ibadah, padahal tidak ada yang mengetahui hal itu kecuali hanya segelintir orang. (Fathul bari 4/199)

Jawabannya:

Prof. Dr. Muhammad bin Ibrohim Ash-Shubaihi mengatakan: Sesungguhnya berdalil dengan perkataan Al-hafidz Ibnu Hajar -rohimahulloh- ini, tidak pas dengan pembahasan kita, karena perkataan beliau ini menyangkut orang yang (sengaja mengumandangkan adzan kedua) lebih cepat dari waktu terbitnya fajar shodiq sekitar 20 menit, dan (pada masalah kita) kecepatan itu tidak ada di kalender Ummul Quro. Adapun titik khilaf antara kita adalah kapan fajar dianggap telah terbit. Oleh karena itu perkataan Al-Hafidz ini tidak ada hubungannya dengan masalah kita ini, wallohu a’lam.

Ada yang mengira bahwa Syeikh Utsaimin mendukung pendapat yang mengatakan fajar shodiq kita terlalu cepat 15-30 menit, padahal itu tidak benar, inilah perkataan beliau:

بعض الناس الآن يشككون في التقويم الموجود بين أيدي الناس، يقولون: إنه متقدم على طلوع الفجر، وقد خرجنا إلى البر وليس حولنا أنوار، ورأينا الفجر يتأخر، حتى بالغ بعضهم وقال: يتأخر ثلث ساعة، ولكن الظاهر أن هذا مبالغة لا تصح، والذي نراه أن التقويم الذي بين أيدي الناس الآن فيه تقديم خمس دقائق في الفجر خاصة

Di masa sekarang ini, ada sebagian orang yang meragukan kebenaran kalender yang dipakai oleh orang-orang, mereka mengatakan, bahwa waktu kalender itu lebih cepat dari terbitnya fajar. Sungguh kami telah mencoba keluar ke padang pasir sehingga tidak ada polusi cahaya di sekitar kami, dan memang kami melihat fajar terlambat, hingga ada sebagian orang yang melebih-lebihkan dan mengatakan fajarnya terlambat hingga 20 menit. Tapi yang jelas, pendapat ini tidak benar dan terlalu berlebihan. Yang kami pandang benar, kalender yang dipakai oleh orang-orang sekarang ini, terlalu cepat 5 menit khusus dalam waktu fajar saja. (Majmu’ fatawa Syeikh Muhammad bin Sholeh al-Utsaimin, 19/302)

Karena terlalu panjangnya artikel tentang fajar ini, maka di sini kami buat ringkasannya, agar lebih mudah dipahami dan tidak salah dimengerti:

1. Sebaiknya permasalahan ini, hanya dibicarakan dalam forum tertutup, dengan lembaga resmi yang berkompeten dalam hal ini, sehingga tidak menimbulkan madhorot yang lebih besar. Dan inilah anjuran dari para kibarul ulama… Tentang anggapan bahwa ini bersangkutan dengan fardhu ain sehingga tidak perlu menunggu tindak lanjut dari lembaga resmi, maka bisa juga disanggah dengan mengatakan: Argumen itu bisa diterima, jika orang yang sholat sesuai jadwal kalender itu sepakat dengan pihak yang mengatakan waktu sholatnya terlalu cepat, tapi kenyataan di lapangan tidak demikian, banyak dari masyarakat yang tetap yakin bahwa jadwal yang ada masih sesuai dengan kenyataan, alasannya karena yang menyusunnya adalah lembaga-lembaga tepercaya dan mumpuni dalam ilmu syar’i. Jika demikian, maka kita katakan sholat orang itu tetap sah, selama ia yakin bahwa sholatnya dilakukan tepat pada waktunya. Walyaqiin laa yazuulu illa bimitslih (keyakinan itu tidak boleh ditinggalkan kecuali dengan keyakinan yang selevel dengannya), Wallohu a’lam.

2. Fajar shodiq yang mu’tabar adalah dengan munculnya sinar seperti benang putih yang tipis memanjang datar di ufuk, dan itu terjadi saat awal munculnya sinar fajar shodiq, sebagaimana diterangkan dalam Surat Al-Baqoroh:187. Dan inilah pendapat yang dipilih oleh mayoritas ulama, bahkan ahli tafsir al-Jashshosh menukil ijma’ dalam masalah ini.

3. Masuknya waktu shubuh, dimulai ketika tampak benang putihnya fajar, bukan ketika fajar sudah sempurna wujudnya.

4. Tanda fajar shodiq seperti: Munculnya warna merah, atau sinarnya menyebar di ufuk, atau sinarnya menyebar di langit hingga menerangi rumah dan jalan, bukan merupakan syarat munculnya fajar shodiq, karena meski ada yang beranggapan hal itu ada dalilnya, tapi dalil itu menyelisihi dalil yang lebih kuat dari Qur’an dan Sunnah.

5. Banyak sekali keterangan dari hadits yang menerangkan bahwa Rosululloh -shollallohu alaihi wasallam- dahulu memulai sholat shubuhnya dalam keadaan masih gelap, hingga para sahabat menggambarkan suasananya dengan mengatakan: “Ketika itu hampir saja mereka tidak mengenali satu sama lain”. (HR. Muslim: 614) dalam riwayat lain dikatakan: “Ketika itu seseorang tidak mengenali raut wajah temannya”. Atau “Sungguh saat itu seseorang tidak mengenali siapa yang disampingnya”. (HR. Abu Dawud: 395, dishohihkan oleh Albani). Padahal kita tahu adzan sudah dikumandangkan sebelum itu, lalu beliau juga selalu melakukan sholat qobliyah subuh sebelumnya. Fakta ini jelas menunjukkan bahwa pada masa Rosul -shollallohu alaihi wasallam- adzan dikumandangkan saat awal munculnya fajar shodiq. Dan awal munculnya fajar shodiq itu tidak menyebabkan adanya suasana terang, karena dengan kemunculannya itu, ia tidak menyinari kecuali tempat munculnya saja, lalu menyebar dan menyebar hingga memenuhi ufuk timur, lalu meninggi dan meninggi hingga terbit matahari.

6. Sebagaimana kita harus hati-hati dalam hal sholat -agar kita tidak sholat sebelum waktunya-, kita juga harus hati-hati dalam hal puasa -agar puasa kita dimulai dari awal waktunya-. Jadi, jangan sampai waktu subuh kita terlalu lama cepatnya hingga sholat subuh kita jadi tidak sah, begitu pula sebaliknya, jangan sampai waktu subuh kita terlalu lama lambatnya, hingga puasa kita jadi tidak sah.

7. Tidaklah benar klaim yang mengatakan bahwa fajar falaki sama dengan fajar kadzib, sebagaimana diterangkan oleh para ulama.

8. Isu tentang fajar yang terlalu cepat 15-30 menit ini, sebenarnya telah lama digulirkan di negara-negara lain, seperti Mesir, Maroko, Saudi arabia, dan Palestina. Dan di negara-negara tersebut sudah terbukti bahwa isu ini tidaklah benar, tapi hanya didasarkan pada perbedaan pendapat tentang sifat fajar shodiq yang dikehendaki oleh pihak pengoreksi. Dan kasus di Indonesia ini, insyaAlloh sama dengan kasus-kasus sebelumnya yang telah terjadi di negara-negara tersebut, karena sumber isu ini juga berasal dari negara-negara itu. Wallohu a’lam.











http://jacksite.wordpress.com/2009/10/20/perselisihan-mengenai-awal-fajar-shadiq/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar