MA'HAD ISLAM TERPADU AL- KHAIRIYYAH, SEKOLAH DAN PONDOK PESANTREN.....................DENGAN MOTTO: BERILMU AMALIYAH - BERAMAL ILMIYAH - MENJAGA UKHUWWAH ...........................YAYASAN MIT ALKHAIRIYYAH KARAWANG MENERIMA SEGALA BENTUK DONASI YANG HALAL DAN TIDAK MENGIKAT; MELALUI BANK JABAR . No. Rekening : 0014732411100 atas nama : Pondok Pesantren Al-Khairiyyah Karawang...........................Facebook: khaeruddin khasbullah.....

SEPUTAR AL-KHAIRIYYAH (facebook:: https://www.facebook.com/khaeruddin.khasbullah)

Jumat, 28 Februari 2014

Mengapa Para Ulama Berbeda Pendapat?

Mengapa Para Ulama Berbeda Pendapat?
                                                             Oleh: Ustadz Abidun Zuhri
 
Bismillahirrahmirrahim. 

Segala puji bagi Allah. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad saw, para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan kebaikan.

Semestinya Allah memerintahkan agar kaum muslimin agar tidak berselisih. Akan tetapi, dalam kenyataannya kita temukan mereka berselisih di dalam memahami ajaran agama dan mengamalkannya. Ini adalah sesuatu yang sudah wajar terjadi. Namun, yang saya maksud perselisihan di sini adalah perselisihan para ulama yang dalam mengambil pendapat berdasarkan ijtihad, bukan karena ta’ashub atau memperturut hawa nafsu. Sebab jenis perbedaan itu banyak sekali. Jika kita memperhitungkan setiap pendapat yang berbeda dari yang lain, kita akan menyandingkan para ahli bid’ah dan kelompok sesat dengan para ulama yang sejati. Ini adalah sesuatu yang tidak boleh terjadi.

Adapun sebab-sebab para ulama berselisih pendapat itu ada empat.Yakni:

Sebab pertama; Nash (teks) yang ada termasuk kategori musytarak lafzhi (kata yang memiliki macam-macam makna).
Misalnya, kata al-qur` yang dapat berarti (1) suci dan (2)berarti haid. Maka kata quru` dalam ayat yang menyatakan bahwa wanita yang dicerai wajib menjalani masa idah selama tiga quru` (al-Baqarah: 228), 3 kali suci menurut Imam Syafi’i dan 3 kali haid menurut Imam Abu Hanifah.

Sebab kedua; Sebuah hadits sampai kepada sebagian ulama dan tidak sampai kepada ulama yang lain.
Misalnya, hadits tentang wanita yang telah ditalak tiga dilarang kembali kepada suaminya kecuali telah menikah dengan laki-laki lain dan melakukan jima’ dengannya, lalu dicerai olehnya (HR. Bukhari dan Muslim). Hadits ini tidak sampai kepada Said bin al-Musayyab sehingga ia tidak menysaratkan sebagaimana yang ada dalam hadits.

Sebab ketiga; Hadits sampai kepada semua ulama, namun sebagian menggunakannya dan sebagian yang lain tidak menggunakannya.

Untuk yang ketiga ini ada empat macam, seperti berikut ini.

1. Ada hadits lain yang lebih kuat. Hal ini menurut ulama Hanafiyah yang mendahulukan tarjih daripada jama’ (kompromi) hadits-hadits. Misalnya hadits yang berbunyi,“Perempuan tidak boleh menikahkan perempuan dan tidak boleh menikahkan dirinya sendiri.” (HR. Thabrani) Hadits ini bertentangan dengan hadits lain yang berbunyi, “Janda lebih berhak atas dirinya daripada walinya, sementara gadis dimintai perintahnya dan diamnya adalah tanda setujunya.” (HR. Muslim) Ulama Hanafiyah mendahulukan hadits yang kedua, sementara jumhur ulama menjama’kan/ mengkompromikan antara dua hadits tadi, yakni makna hadits pertama adalah larangan perempuan menikah tanpa wali dan makna hadits kedua adalah wali tidak boleh memaksa janda.

2. Ada hadits lain yang lebih kuat dan tidak mungkin dijama’kan. Hal ini menurut ulama selain Hanafiyah yang mendahulukan jama’ daripada tarjih. Misalnya, hadits yang mengisahkan seseorang yang bertanya kepada Nabi saw. tentang seseorang yang menyentuh zakarnya, apakah ia wajib wudhu? Nabi saw. menjawab, “Sesungguhnya dia (zakar) adalah bagian dari tubuhmu (tidak membatalkan).” (HR. Abu Dawud dan lainnya) Sementara hadits lain menyatakan, “Barangsiapa yang menyentuh zakarnya, hendaklah ia berwudhu.” (HR. Ahmad dan lainnya) Menurut Imam Syafi’i hadits kedua ini lebih kuat.

3. Hadits sampai kepada sebagian ulama dengan jalur yang shahih dan sampai kepada ulama lain dengan jalur yang dhaif. Misalnya hadits tentang khuf (muzah). Ada satu hadits yang membolehkan membasuh sepatu khuf (ketika wudhu) dengan tenggang waktu tiga hari untuk musafir dan satu hari satu malam untuk muqim. (HR. Nasa`i, Tirmidzi dan Ibnu Khuzaimah) Sementara ada hadits lain yang membolehkan membasuh sepatu khuf tanpa memberi batasan waktu. (HR. Abu Dawud) Imam Malik mengambil hadits yang kedua ini, sedangkan Imam Syafi’i, Ahmad bin Hanbal dan lainnya mengambil hadits yang pertama. Perbedaan ini disebabkan masing-masing mengambil hadits yang shahih menurutnya dan tidak menggunakan hadits lain yang dianggap dhaif.

4. Hadits tidak memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan sebagian ulama, sementara ulama yang lain menganggapnya telah memenuhi syarat-syarat hadits shahih. Misalnya sebuah riwayat yang menyebutkan bahwa Aisyah ra berkata, “Hafshah mendapat hadiah makanan. Ketika itu kami berdua sedang berpuasa. Maka kami membatalkan puasa. Kemudian Rasulullah saw. datang kepada kami. Kami berkata kepada beliau, “Wahai Rasul, kami telah mendapat hadiah. Kami menginginkannya. Maka kami membatalkan puasa.” Beliau bersabda, “Tidak mengapa, gantilah dengan berpuasa pada hari yang lain.” Hadits ini mursal (sanadnya antara tabi’in dan Rasulullah saw. terputus). Hanafiah dan Malikiah mengamalkan hadits ini karena menurut mereka hadits mursal itu menjadi hujjah. Sementara Syafi’iyah dan Hanabilah tidak mengamalkannya, karena menurut mereka hadits mursal itu tidak dapat dijadikan hujjah.

Sebab keempat; Pertentangan (ta’arudh) antardalil.
Yang dimaksud pertentangan di sini adalah pertentangan secara zhahir saja, karena tidak mungkin secara hakiki ayat yang satu bertentangan dengan ayat yang lain atau hadits yang satu bertentangan dengan hadits yang lain.

Menyikapi hal ini, jumhur ulama berpendapat bahwa sikap pertama kali yang harus diambil adalah menjamakkan (mengkompromikan) antardalil yang saling bertentangan itu. Jika tidak mungkin dilakukan, maka ditempuh jalur nasakh (pengguguran), jika diketahui mana yang lebih dahulu dan mana yang lebih akhir. Yang lebih akhir membatalkan yang lebih dahulu. Jika hal itu tidak mungkin dilakukan, maka dilakukan cara tarjih atau mengunggulkan satu dalil atas dalil yang lain.

Sementara ulama Hanafiyah memiliki pandangan lain dalam menyikapi masalah ini. Menurut mereka, langkah pertama yang harus diambil adalah mencari murajjih (sesuatu yang merajihkan dalil). Jika mereka menemukannya, maka mereka mentarjih salah satu dalil yang unggul. Jika hal ini tidak mungkin dilakukan, maka diambil langkah nasakh dengan cara mengetahui mana dalil yang lebih dahulu dan mana dalil yang lebih akhir. Dalil yang lebih akhir membatalkan dalil yang lebih dahulu. Jika hal itu tidak mungkin dilakukan, maka ditempuh cara jama’ antardalil.

Demikianlah sebab-sebab yang menjadikan para ulama berselisih pendapat. Dan jelas, perselisihan mereka berangkat dari cara memahami dan menggunakan dalil. Dengan demikian semuanya berusaha menggunakan dalil yang benar dalam berpendapat. Hal ini menjadi warisan ilmu di dalam umat Islam jauh lebih kaya daripada umat yang lain. Semoga Allah mengampuni dan merahmati para ulama yang telah mendahului kita. Amin.

Ustadz Abidun Zuhri: Alumnus Al- Azhar University Mesir.




Kosakata:

Ijtihad = Mencurahkan segenap kemampuan untuk menghasilkan suatu produk hukum syar'i dari beberapa sumber dalil yang ada.

Ta'asshub = Fanatisme/ Fanatik kelompok atau golongan.
Al- Qur' = Suci/ Haid. Kata benda yang memiliki makna musytarok/ multiple meaning/ banyak arti.

Tarjih = Mengambil yang paling kuat setelah memperbandingkan dua atau lebih dalil

Jama' = Mengkompromikan dua atau lebih dalil, seperti pada contoh kasus 1.

Shohih = Kualitas hadist yang memenuhi syarat.

Dhoif = Kualitas hadist yang kurang memenuhi syarat

Ta'arrudl = Bertentangan antar dalil secara lahiriyah. Seperti misalnya Sabda Nabi: "Air itu tidak bisa dinajiskan oleh apapun" dan Sabdanya yang lain: "Jika ukuran air mencapai 2 Qullah, maka ia tidak menanggung najis"

Nasakh = Menggugurkan. Hadist yang belakangan datang, dapat bersifat menggugurkan hadist sebelumnya. Seperti "Aku dulu melarang ziarah qubur, maka sekarang ber ziarahlah kalian".Maka hadist- hadist yang mengandung makna larangan ziarah qubur sudah di gugurkan/ dianggap tidak berlaku lagi.

Mansukh = Yang digugurkan. Larangan ziarah qubur sudah di gugurkan dengan adanya yang baru yakni perintah ziarah qubur.

Sepatu Khuf = sepatu laras panjang sampai menutup betis