MA'HAD ISLAM TERPADU AL- KHAIRIYYAH, SEKOLAH DAN PONDOK PESANTREN.....................DENGAN MOTTO: BERILMU AMALIYAH - BERAMAL ILMIYAH - MENJAGA UKHUWWAH ...........................YAYASAN MIT ALKHAIRIYYAH KARAWANG MENERIMA SEGALA BENTUK DONASI YANG HALAL DAN TIDAK MENGIKAT; MELALUI BANK JABAR . No. Rekening : 0014732411100 atas nama : Pondok Pesantren Al-Khairiyyah Karawang...........................Facebook: khaeruddin khasbullah.....

SEPUTAR AL-KHAIRIYYAH (facebook:: https://www.facebook.com/khaeruddin.khasbullah)

Selasa, 26 April 2016

Posisi Hilal Sudah Tinggi, Masih Perlukah Rukyat dan Sidang Itsbat?



Posisi Hilal Sudah Tinggi, Masih Perlukah Rukyat dan Sidang Itsbat?



Seperti telah sering kita bahas, bahwa masalah perhitungan secara Hisab/ mathematics awal munculnya Hilal sudah lama selesai. Berdasarkan formula ilmu Astro Fisika, hasil akhir perhitungan munculnya Hilal hanya berbeda detik diantara para ahli hisab yang menghitungnya.

Sebagaimana kita ketahui bahwa Muhammadiyyah, berdasar methode Wujudul Hilal telah menetapkan awal bulan Romadhon 1437 H jatuh pada Senin Pahing, 6- Juni- 2016. Begitu juga tanggal 1 Syawal telah ditetapkan jatuh pada  6- Juli- 2016. Alasannya karena pada Ahad malam Senin, 5- Juni – 2016 ketinggian hilal sudah diatas 4 derajat dan pada akhir Romadhon, Selasa 5- Juli- 2016 Hilal sudah 11 derajat

 Demikian pula Persis melalui sekretaris umumnya, Haris Mulim, LC, ke wartawan, Rabu (20/4/2016), walaupun mereka menggunakan kriteria Imkaanur Rukyat, bukan Wujudul Hilal sebagaimana Muhammadiyyah, mereka menganggap kriterianya sudah memenuhi syarat yang mereka tetapkan, yakni: (1) beda tinggi antara bulan dan matahari minimal 4 derajat dan (2) jarak sudut (elongasi) antara bulan dan matahari minimal 6,4 derajat.

Bagaimana Perhitungan Almanak Kudus/ NU?

Bandingkan dengan Almanak Menara Kudus (yang menjadi acuan kaum Nahdliyyin dan yang sepemikiran dengan kaum Nahdhiyyin), bahwa pada saat Maghrib, Ahad Manis malam Senin Pahing, 5 – Juni- 2016 itu tercatat:

Tinggi Hilal = 4˚ 09’ dalam pandangan mata di Jawa Tengah,
Posisi Hilal = 18˚,94 sebelah utara titik barat, sebelah selatan titik matahari terbenam dalam keadaan miring ke selatan.

Cahaya:  Hilal 0,43 inchi dan lamanya diatas ufuk = 23 menit.
Sedang saat maghrib,  pada Selasa Legi 5- Juli- 2016 Hilal sudah 11 derajat 35 menit diatas horizon. (Sehari sebelumnya Hilal masih minus 0 derajat 50’) dibawah ufuk, berarti hampir dipastikan 1 Syawal -1437 H akan jatuh pada Hari Rabo Pahing, 6- juli- 2016.

Melihat kenyataan demikian, berarti secara perhitungan astronomis, hampir semua Jama’ah besar Islam di Indonesia mendapatkan hari yang sama tentang awal bulan Romadhon 1437 H, yakni insya Alloh akan jatuh pada hari Senin Pahing, 6 Juni 2016). Begitu pula awal Syawal 1437 H yang akan jatuh pada RaboPahing 6- Juli- 2016.

Masih perlukah Rukyat dan sidang Itsbat?

Dalam pandangan Fikih, segala kemaslahatan ummat, wilayahnya ada ditangan Pemerintah (Ulil Amri) cq. Kementrian Agama, termasuk penentuan awal Romadhon, awal Syawal dan awal Dzul Hijjah.

Demikian juga berdasarkan tekstual hadist, Romadhon dan Syawal itu ditetapkan (Itsbat) oleh Nabi berdasarkan laporan sahabat yang telah dapat melihat (rukyat) Hilal. Masalah Puasa, Iedul Fithri maupun Iedul Adl- ha adalah masalah Ibadah, bukan masalah Science an sich. Maka nilai ibadah tertinggi adalah berdasarkan Itba’ Rasul. Apapun hasil ijtihad para cendekia, maka tetap nilai utamanya adalah mengacu kepada bahasa tekstual hadist yang menyatakan penetapan (Itsbat) bulan- bulan ibadah itu berdasar Rukyat, bukan berdasar Science. Maka, bagi mereka yang berpegang teguh pada ketentuan ini, seperti kaum Nahdliyyin dan yang selaras dengan mereka  seperti Jama’ah Perti, Jama’ah Rifa’iyyah, Jami’atul Wasliyyah, Jamia’t Khoer, Nahdhotul Wathon, dsb (dalam hal ini jama’ah Salafy juga biasanya menggunakan cara ini), mereka akan melakukan Rukyat (munggah/ naik ketempat yang tinggi) untuk berusaha melihat kemunculan/ ketidak munculan Hilal sebagai bentuk ibadah kepada Alloh. Hasil pengamatan dilapangan ini akan diserahkan kepada Ulil Amri, cq Kemenag RI untuk dibahas dan disidangkan kemudian di TETAPKAN / ITSBAT oleh bapak Menteri..
Bahkan sebagian ulama menyatakan bahwa penetapan awal bulan Ibadah seperti Romadhon dan bulan - bulan  ibadah lainnya dengan cara Hisab (Science) saja tidak dapat dijadikan pegangan  Karena masalah Ubudiyyah tidak sama dengan masalah Science.

Perbedaan antara  Penentuan Waktu Sholat dan Arah Qiblat dengan Penentuan awal Romadhon awal Syawal dan awal Dzul Hijjah.

Sering kali masyarakat bertanya- tanya, mengapa diantara para ulama tidak ada perselisihan tentang bolehnya  penentuan waktu sholat dan arah qiblat dilakukan dengan cara Hisab/ Matematics murni, sedang pada penentuan awal Romadhon dan awal Syawal sebagian besar ulama menyatakan harus memakai dasar Rukyat dan tidak cukup memakai Hisab Murni? Apa yang membedakannya?.

Ternyata ketika diteliti sumber dalil yang berkenaan dengan waktu- waktu ibadah tersebut diatas, ada perbedaan yang sangat mendasar, yakni:

- Pada penentuan waktu sholat, tidak ada satu teks pun  Qur'an atau hadist yang mennyatakan bagaimana CARA nya untuk menentukan waktu - waktu tersebut.

Dalam ٍSurat Al- Isro' ayat 78 tertulis:

أَقِمِ الصَّلَاةَ لِدُلُوكِ الشَّمْسِ إِلَىٰ غَسَقِ اللَّيْلِ وَقُرْآنَ الْفَجْرِ ۖ إِنَّ قُرْآنَ الْفَجْرِ كَانَ مَشْهُودًا (78)

"Tegakkan sholat ketika matahari telah bergeser sampai gelapnya malam dan juga sholat fajar........"
Dalam ayat ini tidak disebutkan bagaimana caranya melihat matahari yang telah bergeser ataupun bagaimana caranya menentukan waktu telah malam atau telah fajar. Lihat pula hadist- hadist tentang masuknya waktu sholat.

- Begitu juga tentang arah qiblat, tidak ada satu ayat atau hadist pun yang menyatakan bagaimana caranya kita menghadap qiblat. Alloh berfirman dalam Al- Baqoroh 144:

فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ

"Dan hendaklah kau hadapkan wajahmu ke arah Masjidil Harom. Maka dimanapun kalian berada, hadapkanlah wajah- wajah/ diri kalian kearah qiblat tersebut"....dalam ayat ini juga tidak dijelaskan bagaimana caranya untuk mencari arah qiblat.

Berbeda dengan Shoum Romadhon maupun Syawwal. Nabi menyatakan: "Berpuasalah kalian karena MELIHAT HILAL dan sudahilah shiyam karena MELIHAT HILAL..................". HR. Bukhory.

Dalam menentukan awal Dzul Hujjah Alloh berfirman dalam Al- Baqoroh  189 :

يَسْأَلُونَكَ عَنِ الأهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ وَلَيْسَ

"Kalian bertanya tentang HILAL, katakanlah (wahai Muhammad), bahwa hilal itu penentu waktu- waktu bulan ibadah bagi manusia dan juga bulan HAJJI".

Oleh karena itu sebagian besar ulama kukuh berpegang pada hadist ini dengan menyatakan bahwa masuknya bulan Shiyam, Syawwal ataupun Dzul Hijjah harus berdasar Rukyat, sedang untuk menentukan waktu sholat atapun arah qiblat, boleh bebas menggunakan matematics murni atau dengan berbagai cara lainnya.




Wallohu a'lam.

Lihat pembahasanya disini:


 


Dalil- dalil:

1- عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : " صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ ، وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ ، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا الْعِدَّةَ ثَلاثِينَ "
Dari Abi Hurairoh ra,Rasululloh saw bersabda: "Berpuasalah kalian ketika melihat Hilal (Romadhon), dan berbukalah kalian ketika melihat Hilal (Syawal). Jika Hilal tertutup atas kalian, maka hendaklah bulan itu kalian sempurnakan 30 hari". HR. Bukhory dan Muslim.

2- Al Qurthubi :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ ۖ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
قال سهل بن عبد الله التستري: أطيعوا السلطان في سبعة: ضرب الدراهم والدنانير، والمكاييل والاوزان، والاحكام والحج والجمعة والعيدين والجهاد.
Sahal bin Abdullah at-Tastari berkata : Taatlah kamu kepada penguasa dalam tujuh perkara : di dalam penentuan mata uang yang sah, di dalam takaran, di dalam timbangan, di dalam hukum, di dalam haji, di dalam shalat jum’at, dan di dalam dua hari raya serta jihad.
2- Dari hadist Sunan At Tirmidzi :
الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُومُونَ وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُونَ وَالأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّونَ
Berpuasa kalian pada hari berpuasa, berbukalah kalian pada hari raya, berkurbanlah kalian pada hari berkurban.
3- Pendapat para ulama mengenai hadist di atas :
وَفَسَّرَ بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ هَذَا الْحَدِيثَ فَقَالَ : إِنَّمَا مَعْنَى هَذَا الصَّوْمُ وَالْفِطْرُ مَعَ الْجَمَاعَةِ وَعِظَمِ النَّاسِ
Sebagian ulama memberikan penafsiran mengenai hadist ini, mereka berkata : Bahwa makna hadist ini adalah perintah untuk berpuasa dan berhari raya bersama dengan Al Jama'ah dan golongan mayoritas. 

a-  Al-‘Allamah As-Sindi rahimahullah berkata :
وَالظَّاهِر أَنَّ مَعْنَاهُ أَنَّ هَذِهِ الْأُمُور لَيْسَ لِلْآحَادِ فِيهَا دَخْل وَلَيْسَ لَهُمْ التَّفَرُّد فِيهَا بَلْ الْأَمْر فِيهَا إِلَى الْإِمَام وَالْجَمَاعَة وَيَجِب عَلَى الْآحَاد اِتِّبَاعهمْ لِلْإِمَامِ وَالْجَمَاعَة
Dan makna dhahir dari perkara perkara ini (menentukan waktu puasa dan hari raya) tidak bolehnya ada campur tangan individu-individu dan tidak boleh bagi mereka untuk menetapkan keputusan sendiri, akan tetapi keputusannya diserahkan kepada pemimpin dan pemerintah, dan wajib bagi individu-individu untuk mengikuti keputusan pemimpin dan pemerintah.
وَقِيلَ فِيهِ الرَّدُّ عَلَى مَنْ يَقُولُ إِنَّ مَنْ عَرَفَ طُلُوعَ الْقَمَرِ بِتَقْدِيرِ حِسَابِ الْمَنَازِلِ جَازَ لَهُ أَنْ يَصُومَ بِهِ وَيُفْطِرَ دُونَ مَنْ لَمْ يَعْلَمْ
Dan dikatakan bahwa dalam hadits ini ada bantahan terhadap orang yang berpendapat bahwa siapa yang mengetahui kemunculan bulan dengan perkiraan hisab (perhitungan) tempat-tempat bulan maka boleh baginya untuk berpuasa dan berbuka tanpa diketahui orang lain.
وَقِيلَ إِنَّ الشَّاهِدَ الْوَاحِدَ إِذَا رَأَى الْهِلَالَ وَلَمْ يَحْكُمْ الْقَاضِي بِشَهَادَتِهِ أَنَّ هَذَا لَا يَكُونُ هَذَا صَوْمًا لَهُ كَمَا لَمْ يَكُنْ لِلنَّاسِ
Dan dikatakan bahwa satu orang saksi yang melihat hilal dan kesaksiannya tidak diakui oleh seorang hakim maka tidak boleh baginya berpuasa, sebagaimana tidak boleh juga bagi masyarakat umum.
وَعَلَى هَذَا فَإِذَا رَأَى أَحَد الْهِلَال وَرَدَّ الْإِمَام شَهَادَته يَنْبَغِي أَنْ لَا يَثْبُت فِي حَقّه شَيْء مِنْ هَذِهِ الْأُمُور وَيَجِب عَلَيْهِ أَنْ يَتْبَع الْجَمَاعَة فِي ذَلِكَ
Oleh karena itu, apabila seseorang melihat hilal, namun pemimpin menolak persaksiannya, maka sepatutnya ia tidak memutuskan apa-apa dalam perkara-perkara ini, dan wajib baginya untuk mengikuti keputusan pemerintah.
b- Imam Hasan Al- Bashory berkata:
وقال الحسن البصري – رحمه الله – أربع من أمر الإسلام إلى السلطان: الحكم والفيء والجهاد والجمعة.

Al Imam Hasan Al Bashri mengatakan : Ada 4 perkara yang harus ikut kepada pemerintah, pertama di dalam masalah hukum, pembagian harta fa'i, jihad dan shalat jum'at.

c- Beberapa hadist:
وعن ابن عمر رضي الله عنهما ، عن النبيِّ - صلى الله عليه وسلم - ، قَالَ : (( عَلَى المَرْءِ الْمُسْلِمِ السَّمْعُ والطَّاعَةُ فِيمَا أحَبَّ وكَرِهَ ، إِلاَّ أنْ يُؤْمَرَ بِمَعْصِيةٍ ، فَإذَا أُمِرَ بِمَعْصِيةٍ فَلاَ سَمْعَ وَلاَ طَاعَةَ )) متفقٌ عَلَيْهِ
Ibnu Umar Ra berkata bahwa Nabi Saw Bersabda : Seorang muslim wajib mendengar taat, pada pemerintahnya, dalam apa yang disenangi dan tidak si senangi, kecuali diperintah berbuat maksiat. Maka apabila diperintah makshiyat, maka tidak wajib mendengar dan tidak wajib taat.HR. Bukhory dan Muslim.
صحيح مسلم - (ج 9 / ص 393(سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ خَلَعَ يَدًا مِنْ طَاعَةٍ لَقِيَ اللَّهَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَا حُجَّةَ لَهُ وَمَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِي عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً
Ibnu Umar Ra berkata : Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, barangsiapa yang melepas tangan dari taat, maka akan bertemu dengan Allah pada hari kiamat dengan tidak membawa hujjah. Dan barang siapa yang mati, sedang di lehernya tidak ada suatu baiat, maka dia mati dalam sebagaimana matinya orang jahiliyyah.HR. Muslim.

GPI, Purwasari, Karawang,27- April- 2016