TASLIM = BAI'AT
Oleh: H. Khaeruddin Khasbullah
TASLIM = BAI’AT.
Makna
Kata Taslim berasa dari akar kata
Sallama – Yusallimu – Tasliiman, artinya tunduk dan patuh. Dikatakan سلَّمَ الشَّخصُ : استسلم ، انقاد بدون مقاومة….
seseorang telah taslim berarti ia telah tunduk tanpa reserve.
Pernyataan ketundukan itu dilakukan
dengan cara berbaiat dihadapan orang yang ia telah tunduk padanya dengan
datang, bersalaman (bagi lelaki), diawali dengan mengucap dua kalimat syahadat dan berikrar mengucapkan ke taslimannya.
Ibnu Khaldun mengatakan dalam kitabnya, Al Muqadimah,”Bai’at ialah janji untuk taat. Seakan-akan orang yang berbai’at itu berjanji kepada pemimpinnya untuk menyerahkan kepadanya segala kebijaksanaan tentang urusan dirinya dan urusan kaum muslimin, sedikitpun tanpa menentangnya; serta taat kepada perintah pimpinan yang dibebankan kepadanya, suka maupun tidak.”
Hadist dan Tarikh/ Sejarah Tentang
Baiat.
Pada periode awal, setiap sahabat
yang masuk Islam baik lelaki atau wanita, mereka berbaiat dihadapan Rasul SAW
dan berikrar Taslim/tunduk menyerah kepada Allah dan baginda Rasululloh.
Sebagaimana firman Allah :
فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ
حَتَّىٰ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي
أَنفُسِهِمْ حَرَجًا مِّمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا. ألنساء 65
“………..dan merekaTaslim/ tunduk
dengan sebenar- benar tunduk” QS.An- Nisa’ 65
Dalam sebuah hadist dinyatakan:
من مات و ليس في عنقه بيعة مات ميتة
جاهلية . رواه مسلم 1851
Rasululloh menyatakan: “barang siapa
mati dan dia belum berbaiat, maka matilah ia dalam keadaan jahiliyyah”.HR.
Muslim.
Dan masih banyak lagi hadist yang
senada dengan itu.
Syekh Ibnu hajar Al- Atsqolany dalam
Fatkhul Bary Syarah Sohih Bukhory menjelaskan tentang makna kalimat “mati dalam
keadaan jahiliyyah”:
كموت أهل الجاهلية على ضلال وليس لهم
إمام مطاع، لأنهم كانوا لا يعرفون ذلك، وليس المراد أنه يموت كافراً بل يموت
عاصياً،
“Yakni seperti matinya kaum
jahiliyyah yang tersesat tak punya pemimpin yang ditaati, karena mereka tidak
tahu pentingnya ketundukan kepada pemimpin, maknanya bukan berarti dia mati
kafir, tapi ia mati dalam keadaan maksiyat,….”.
Berbaiat Dengan Bersalaman (bagi
laki- laki) Tidak Dilakukan Ketika Takluknya Kota Mekah.
Ikrar taslim/ tunduk dengan cara
berbaiat dihadapan Rasul itu dilakukan oleh para sahabat Nabi sampai saat
takluknya kota Mekah. Maka ketika Makkah takluk dan manusia berbondong bondong
memasuki agama Islam, tak mungkin lagi Rasulullah menyalami mereka satu
persatu, namun cukup dengan membuktikan diri mereka tunduk dan patuh kepada
semua yang telah ditetapkan oleh Rasululloh. Ini sebagai dalil bahwa baiat
secara berhadapan itu tidaklah wajib, namun keutamaan. Seandainya maju
bersalaman satu persatu itu sebagai syarat keabsahan bai’at, tentu bagaimanapun
Rasululloh akan memerintahkannya.
Maka berdasarkan riwayat tersebut
para ulama tidak mewajibkan lagi masyarakat umum untuk berbaiat kepada Amir/
Imam/ pemimpin ummat, namun cukup dengan perwakilan mereka yang menyatakan
Ikrar bakti/ Taslim kepada para pemimpin mereka.
صرح الحنابلة والشافعية بأن المعتبر
في البيعة هم أهل الحل والعقد من العلماء والرؤساء ووجوه الناس ، بخلاف العامة
فإنهم لا يلزمهم مبايعة بالقول ولا بالحضور، بل يلزمهم الطاعة وعدم الخروج،
واعتقاد أنهم تحت أمر الإمام.
Madzhab Hanbaly dan Syafi’I
menyatakan bahwa yang paling mu’tabar (yang memiliki argument terkuat)
menyatakan bahwa Bai’at itu diberlakukan bagi Ahlul Halli wal Aqdy (pemimpin
kelompok yang legitimated- lihat syarat Ahlul halli wal Aqdi) dari para ulama,
pemimpin ummat dan perwakilan masyarakat. Berbeda dengan masyarakat umum, maka
mereka tidak diwajibkan berbaiat dengan ikrar ataupun kehadiran. Yang wajib
bagi mereka adalah taat dan tidak keluar dari ikatan suatu jama’ah (dalam hal
ini daulah Islamiyyah/kepemimpinan Islam) dan berkeyakinan bahwa mereka tunduk
dibawah urusan Imam/ pemimpin jama’ah tersebut.
وقال النووي رحمه الله في شرح صحيح
مسلم :
أَمَّا الْبَيْعَة :
فَقَدْ اِتَّفَقَ الْعُلَمَاء عَلَى
أَنَّهُ لا يُشْتَرَط لِصِحَّتِهَا مُبَايَعَة كُلّ النَّاس , وَلا كُلّ أَهْل
الْحَلّ وَالْعِقْد , وَإِنَّمَا يُشْتَرَط مُبَايَعَة مَنْ تَيَسَّرَ إِجْمَاعهمْ
مِنْ الْعُلَمَاء وَالرُّؤَسَاء وَوُجُوه النَّاس , . . . وَلا يَجِب عَلَى كُلّ
وَاحِد أَنْ يَأْتِيَ إِلَى الأَمَام فَيَضَع يَده فِي يَده وَيُبَايِعهُ ,
وَإِنَّمَا يَلْزَمهُ الانْقِيَادُ لَهُ , وَأَلا يُظْهِر خِلافًا , وَلا يَشُقّ
الْعَصَا اهـ
Dan hanyasanya berbaiat itu, para
ulama telah sepakat bahwa sesungguhnya baiat itu tidak disyaratkan sahnya
dengan berbaiatnya setiap manusia satu demi satu, tidak juga para Ahlul Halli
wal Aqdi, namun yang disyaratkan bagi yang mudah untuk mereka berkumpul, dari
para ulama, para pemimpin dan perwakilan masyarakat. Dan tidak wajib bagi
setiap orang untuk datang kepada Imam, kemudian meletakkan tangannya dengan
tangan Imam ketika membaiatnya, namun yang wajib bagi mereka adalah TUNDUK
kepada pemimpin itu dan tidak menunjukkan perselisihannya dengan pemimpin
tersebut.
Baiat, Tradisi Bagi Ahli Thoriqoh
Dan Aliran Tertentu.
Walaupun para ulama sebagaimana
dalam madzhab Syafi’I dan Hanbali tidak mewajibkan Baiat/ Taslim secara
langsung berikrar dan bersalaman dengan guru/ pemimpin/ imam jama’ah, tradisi
ini masih berlaku bagi para pelaku jama’ah Thoriqoh seperti Thoriqoh
Naqsyabandiyyah, Thoriqoh Syadhiliyyah, Thoriqoh maulawiyyah dll, juga pada aliran tertentu yang
mewajibkan baiat seperti LDII, ISIS, dll. Bagi para calon murid, mereka
menghadap kepada calon guru mursyid/ amir dan pemimpin kelompoknya dan kemudian
mereka mengucapkan ikrar Taslim kepada calon guru mursyid/ amir/ pemimpin kelompok
tersebut.
Bagaimana Dengan Jama’ah Rifaiyyah?
Jama’ah Rifa’iyah pada awalnya
ketika masa perjuangan juga melakukan hal ini. Namun kini, sebagian besar
jama’ah telah meninggalkan kebiasaan ini berdasar dalil dan nash dari Imam
Nawawy yang mewakili madzhab Syafi’I yang menyatakan bahwa baiat masyarakat
umum sudah tidak diwajibkan lagi sebagaimana Rasululloh tidak lagi melakukan
baiat orang per orang ketika manusia sudah memasuki agama Islam dengan
berbondong- bondong setelah Fatkhu Makkah, karena yang dipentingkan bukan lagi
ucapan, namun bukti ketasliman dan ketundukan mereka terhadap aturan dan syari’at
yang ada. Walaupun demikian, praktek taslim/ dan baiat adalah sebuah keutamaan,
tapi bukan untuk dipaksakan, berdasar firman Allah: لا
إكراه في الدين "tak ada paksaan dalam agama" QS. Al Baqoroh 256.
Wallohu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar