Ulama Indonesia di Haramayn (Mekah & Madinah) dan transmisi Islam reformis di Indonesia (1800 - 1900)
(Nawawi Albantani-Saleh Darat-Rifa'i Kalisalak)
Sebuah disertasi
Author: Basri Basri
Abstrak:
Penyebaran Islam reformis di abad kesembilan belas Indonesia dipengaruhi secara signifikan oleh jaringan intelektual yang dibangun di Mekkah dan Madinah antara para tokoh kunci Indonesia dan para Ulama Haramayn. Pada abad kesembilan belas, dua Kota Suci (Mekah/ Medinah) telah dapat menarik sejumlah ulama Jawa yang, selain belajar dan mengajar, juga menulis risalah kitab- kitab hukum Islam yang penting- penting, di mana mereka mentransmisikan dan menyebarkan ide-ide reformis mereka keseluruh nusantara.
Setelah menyelesaikan tujuan mereka belajar dengan para ulama terkemuka di Haramayn tersebut, sebagian besar dari mereka kembali ke Jawa, di mana mereka membentuk diri sebagai para reformis terkemuka, yang pengaruhnya tetap penting sampai hari ini. Nawawi al-Bantani, Salih Darat, dan Rifa `i Kalisalak berada di antara kesembilan belas Ulama Jawa yang paling terkenal pada abad 19 yang belajar di Haramayn tersebut.
Setelah menguasai berbagai ilmu Islam mereka pulang ke tanah air untuk menyebarkan ide-ide reformis mereka, ini termasuk upaya bertahap untuk memurnikan Islam dari pengaruh local yang merusak (sincretisme, bid’ah dan khurafat. pen), upaya me reformulasi doktrin Islam agar dapat menjadi pedoman yang lebih praktis dan fungsional, dan upaya rekonsiliasi untuk mengubah Islam yang saat itu berorientasi mistis ke amaliyah praktek berorientasi yang lebih SYAR’I.
Cita-cita reformis mereka tidak diragukan lagi merupakan perubahan besar dalam perjalanan Islam di wilayah tersebut, terutama di abad kesembilan belas. Disertasi ini berusaha untuk menjelaskan ide-ide reformis Islam yang ditularkan oleh ketiga `ulama tersebut. Terlepas dari kenyataan bahwa mereka semua belajar di Haramayn dibawah bimbingan para Ulama Madzhab Syafi `i, mereka berbeda dalam hal penekanan dan pendekatan dalam agenda reformis Islam mereka. Nawawi Al-Bantani, yang menghabiskan bertahun-tahun di Haramayn sebagai mahasiswa dan kemudian diangkat sebagai syekh (Syaikhul Hijaz), terutama berkaitan dengan reformasi Islam pada tingkat KONSEPTUAL. Salih Darat, yang menghabiskan waktu yang lebih singkat dibanding dari keterlibatan intelektual dengan para Ulama Haramayn lainnya, lebih menekankan pada penterjemahan ajaran Islam ke dalam risalah yang realistis dan lebih mudah dipahami (kedalam bahasa Jawa) yang dimaksudkan untuk mengatasi kehidupan ibadah sehari-hari orang Jawa dan masalah keagamaan praktis lainnya.
Di sisi lain, aktivitas Rifa'i Kalisalak terutama berkaitan dengan transformasi ajaran Islam ke dalam aktivitas gerakan progresif (Harakah), terutama dalam konteks sikap perlawanan pada kehadiran penjajah kolonial Belanda di Indonesia (Dikemudian hari beberapa tahun setelah kemerdekaan, para santri beliau KH. Syekh Ahmad Rifa'i membuat sebuah jama'ah yang kemudian disebut sebagai Jama'ah Rifa'iyyah, sebuah Jama'ah yang bersifat sosial keagamaan yang ber- asaskan Islam Ahlussunnah Wal Jama'ah, dalam Fikih bermadzhab Syafi'i, dalam Aqidah berpedoman pada methode Asy'ary dan Ma'turidy, serta dalam Tasawwuf berpedoman pada methode Tazkiyyatun Nafs Imam Junaidy Albaghdady.........Lihat dan bandingkan dengan Anggaran Dasar Nahdhatul Ulama hasil Mu'tamar XXVII No 02 /MNU-27/1984, Point 3 tentang Dasar- dasar keagamaan Nahdhatul Ulama , b (1-2-3).Pent...........(Tag: Sejarah)
Setelah menyelesaikan tujuan mereka belajar dengan para ulama terkemuka di Haramayn tersebut, sebagian besar dari mereka kembali ke Jawa, di mana mereka membentuk diri sebagai para reformis terkemuka, yang pengaruhnya tetap penting sampai hari ini. Nawawi al-Bantani, Salih Darat, dan Rifa `i Kalisalak berada di antara kesembilan belas Ulama Jawa yang paling terkenal pada abad 19 yang belajar di Haramayn tersebut.
Setelah menguasai berbagai ilmu Islam mereka pulang ke tanah air untuk menyebarkan ide-ide reformis mereka, ini termasuk upaya bertahap untuk memurnikan Islam dari pengaruh local yang merusak (sincretisme, bid’ah dan khurafat. pen), upaya me reformulasi doktrin Islam agar dapat menjadi pedoman yang lebih praktis dan fungsional, dan upaya rekonsiliasi untuk mengubah Islam yang saat itu berorientasi mistis ke amaliyah praktek berorientasi yang lebih SYAR’I.
Cita-cita reformis mereka tidak diragukan lagi merupakan perubahan besar dalam perjalanan Islam di wilayah tersebut, terutama di abad kesembilan belas. Disertasi ini berusaha untuk menjelaskan ide-ide reformis Islam yang ditularkan oleh ketiga `ulama tersebut. Terlepas dari kenyataan bahwa mereka semua belajar di Haramayn dibawah bimbingan para Ulama Madzhab Syafi `i, mereka berbeda dalam hal penekanan dan pendekatan dalam agenda reformis Islam mereka. Nawawi Al-Bantani, yang menghabiskan bertahun-tahun di Haramayn sebagai mahasiswa dan kemudian diangkat sebagai syekh (Syaikhul Hijaz), terutama berkaitan dengan reformasi Islam pada tingkat KONSEPTUAL. Salih Darat, yang menghabiskan waktu yang lebih singkat dibanding dari keterlibatan intelektual dengan para Ulama Haramayn lainnya, lebih menekankan pada penterjemahan ajaran Islam ke dalam risalah yang realistis dan lebih mudah dipahami (kedalam bahasa Jawa) yang dimaksudkan untuk mengatasi kehidupan ibadah sehari-hari orang Jawa dan masalah keagamaan praktis lainnya.
Di sisi lain, aktivitas Rifa'i Kalisalak terutama berkaitan dengan transformasi ajaran Islam ke dalam aktivitas gerakan progresif (Harakah), terutama dalam konteks sikap perlawanan pada kehadiran penjajah kolonial Belanda di Indonesia (Dikemudian hari beberapa tahun setelah kemerdekaan, para santri beliau KH. Syekh Ahmad Rifa'i membuat sebuah jama'ah yang kemudian disebut sebagai Jama'ah Rifa'iyyah, sebuah Jama'ah yang bersifat sosial keagamaan yang ber- asaskan Islam Ahlussunnah Wal Jama'ah, dalam Fikih bermadzhab Syafi'i, dalam Aqidah berpedoman pada methode Asy'ary dan Ma'turidy, serta dalam Tasawwuf berpedoman pada methode Tazkiyyatun Nafs Imam Junaidy Albaghdady.........Lihat dan bandingkan dengan Anggaran Dasar Nahdhatul Ulama hasil Mu'tamar XXVII No 02 /MNU-27/1984, Point 3 tentang Dasar- dasar keagamaan Nahdhatul Ulama , b (1-2-3).Pent...........(Tag: Sejarah)
Translated by:Ibn Khasbullah
Tulisan asli:
(Nawawi Albantani- Saleh Darat-
Rifa'i Kalisalak)
Dissertation
Author:
Basri Basri
Abstract:
The transmission of reformist Islam in nineteenth century Indonesia was
influenced significantly by intellectual network that was established in
Mecca and Medina between key Indonesian and Haramayn `ulam a' . In the
nineteenth century the holy cities attracted a number of Javanese
`ulama' who, in addition to studying and teaching, wrote important legal
treatises, by which they transmitted their reformist ideas throughout
the archipelago. Having accomplished their objectives of studying with
leading scholars in the Haramayn, most of them returned to Java, where
they established themselves as leading reformers, whose influence remain
important this day. Nawawi al-Bantani, Salih Darat, and Rifa`i
Kalisalak were among the most notable nineteenth century Javanese
`ulama' who studied in the Haramayn. After mastering various Islamic
sciences they returned home to transmit their reformist ideas; these
include a gradual effort to purify Islam from local corrupting
influences, reformulation of Islamic doctrines into more practical and
functional guidelines, and a reconciliatory effort to transform mystical
oriented Islam into more shari`a oriented practice. These reformist
ideals undoubtedly constituted a major change in the course of Islam in
the region, especially in the nineteenth-century. This dissertation
attempts to elucidate Islamic reformist ideas transmitted by these three
`ulama'. Despite the fact that they all studied in the Haramayn under
the tutelage of Shafi` i scholars, they differed in terms of the
emphases and approaches in their Islamic reformist agenda. Al-Bantani,
who spent years in the Haramayn as a student and was appointed as a
shaykh, was primarily concerned with Islamic reform on a conceptual
level. Salih Darat, who spent a shorter period of his intellectual
engagement with the Haramayn `ulama', emphasized the translation of
Islamic teachings into realistic and more easily understood treatises
which were intended to address daily life and practical issues. On the
other hand, Kalisalak was mainly concerned with the transformation of
Islam into more progressive activism especially in the context of his
adversarial attitudes towards the Dutch colonial presence in Indonesia......................
See: udini.proquest.com/view/indonesian-ulama-in-the-haramayn-goid:304687102/
Seni &
Sejarah> Sejarah Timur Tengah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar