MAKNA ISTIWA' BAGI ALLAH
Oleh: Ustadz Rifa'i Ahmad dengan beberapa penambahan dari admin
أَلَمْ تَرَ أَنَّ اللهَ يَعْلَمُ ماَ فِي السَّمَواَتِ وَماَ فِي الأَرْضِ
ماَ يَكُوْنُ مِنْ نَجْوَى ثَلاَثَةٍ إِلَّا هُوَ راَبِعُهُمْ وَلَا خَمْسَةٍ إِلَّا
هُوَ ساَدِسُهُمْ وَلاَ أَدْنَى مِنْ ذاَلِكَ وَلاَ أَكْثَرَ إِلاَّ هُوَ مَعَهُمْ
أَيْنَ ماَ كاَنُوْا ثُمَّ يُنَبِّئُهُمْ بِماَ عَمِلُوْا يَوْمَ الْقِياَمَةِ إِنَّ
اللهَ بِكُلِّ شَئٍ عَلِيْمٌ ( المجادلة ٧)
“ Tidakkah kamu
tahu bahwa sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala apa yang ada dilangit dan
dibumi. Apa yang terjadi dari tiga orang yang berbincang, pasti Allah adalah
yang keempat dari mereka, jika mereka berlima pasti Allah yang keenam dari
mereka, dan tidak mereka yang lebih sedikit atau lebih banyak dari yang
tersebut itu kecuali Dia Allah akan bersama mereka dimanapun mereka berada,
kemudian Allah akan memberitakan tentang apa yang mereka telah perbuat dihari
qiyamat . Sesungguhnya AllahMaha Mengetahui
atas segala sesuatu”(Al Mujadilah 7)
Dewasa ini berhembus pemahaman yang mengatakan bahwa Alloh bersemayam
atau bertempat di Arsy. Sementara Arsy itu berada di atas langit.
Pemahaman ini sering di klaim sebagai pemahaman salafuna Assholih, dan
juga "katanya" merupakan aqidah dari Imam empat yaitu Hanafi, Maliki,
Syafi’I dan Hanbali. Banyak kalangan terkesima dengan paham ini dan
bahkan sebagian kalangan banting setir dengan membid’ahkan habis-habisan
pemahaman salaf yang benar. Mereka tidak segan untuk memberikan gelar
jahmiyah, murji’ah dan bukan golongan Ahlu Sunnah kepada pemegang panji-
panji Asy'ariyah dan Ma'turidiyyah.
Pandangan Ahlu Sunnah Waljama'ah
Perlu
diketahui bahwa Ahlu Sunnah Wal Jama’ah yang diusung oleh Imam Asy'ary
dan Ma'turidy berpendapat bahwa Alloh itu WUJUD TANPA BUTUH TEMPAT. Imam
besar Ahlus Sunnah Abi Hasan Al Asy’ari dalam Al Ibanahnya mengatakan:
وأن الله تعالى استوى على العرش على الوجه الذي قاله، وبالمعنى الذي أراده، استواء منزها عن الممارسة والاستقرار والتمكن والحلول والانتقال
"Sesungguhnya Alloh Istiwa’ di Arsy sesuai dengan apa yang Ia
firmankan dan mempunyai makna sesuai apa yang Ia kehendaki. Istiwa’ yang
suci dari bersinggungan, bertempat, berbaur dan pindah" (Al Ibanah.hal.5).
Lengkapnya di halaman 21
قال ابو الحسن الاشعري رحمه الله
(وأن الله تعالى استوى على العرش على الوجه الذي قاله ، وبالمعنى الذي أراده ، استواءً منزَّهاً عن المماسة والاستقرار والتمكن والحلول والانتقال. لا يحمله العرش بل العرش وحملته محمولون بلطف قدرته ، ومقهورون في قبضته ، وهو فوق العرش وفوق كل شيء إلى تخوم الثرى ، فوقية لا تزيده قرباً إلى العرش والسماء ، بل هو رفيع الدرجات عن العرش ، كما أنه رفيع الدرجات عن الثرى ، وهو مع ذلك قريب من كل موجود ، وهو أقرب إلى العبد من حبل الوريد ، وهو على كل شيء شهيد)
الإبانة عن أصول الديانة ص21
Lengkapnya di halaman 21
قال ابو الحسن الاشعري رحمه الله
(وأن الله تعالى استوى على العرش على الوجه الذي قاله ، وبالمعنى الذي أراده ، استواءً منزَّهاً عن المماسة والاستقرار والتمكن والحلول والانتقال. لا يحمله العرش بل العرش وحملته محمولون بلطف قدرته ، ومقهورون في قبضته ، وهو فوق العرش وفوق كل شيء إلى تخوم الثرى ، فوقية لا تزيده قرباً إلى العرش والسماء ، بل هو رفيع الدرجات عن العرش ، كما أنه رفيع الدرجات عن الثرى ، وهو مع ذلك قريب من كل موجود ، وهو أقرب إلى العبد من حبل الوريد ، وهو على كل شيء شهيد)
الإبانة عن أصول الديانة ص21
Imam Abu Hanifah juga mengatakan bahwa Alloh ada tanpa BUTUH tempat, sebagaimana dipahami dari ungkapan beliau :
وَنُقِرّ بِأنّ اللهَ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عَلَى العَرْشِ اسْتَوَى
مِنْ غَيْرِ أنْ يَكُوْنَ لَهُ حَاجَةٌ إليْهِ وَاسْتِقْرَارٌ عَلَيْهِ،
وَهُوَ حَافِظُ العَرْشِ وَغَيْرِ العَرْشِ مِنْ غَبْرِ احْتِيَاجٍ، فَلَوْ
كَانَ مُحْتَاجًا لَمَا قَدَرَ عَلَى إيْجَادِ العَالَمِ وَتَدْبِيْرِهِ
كَالْمَخْلُوقِيْنَ، وَلَوْ كَانَ مُحْتَاجًا إلَى الجُلُوْسِ وَالقَرَارِ
فَقَبْلَ خَلْقِ العَرْشِ أيْنَ كَانَ الله، تَعَالَى اللهُ عَنْ ذَلِكَ
عُلُوّا كَبِيْرًا.
“Kita menetapkan sifat Istiwa
bagi Allah pada arsy, bukan dalam pengertian Dia membutuhkan kepada arsy
tersebut, juga bukan dalam pengertian bahwa Dia bertempat atau
bersemayam di arsy. Allah yang memelihara arsy dan memelihara selain
arsy, maka Dia tidak membutuhkan kepada makhluk-makhluk-Nya tersebut.
Karena jika Allah membutuhkan kapada makhluk-Nya maka berarti Dia tidak
mampu untuk menciptakan alam ini dan mengaturnya. Dan jika Dia tidak
mampu atau lemah maka berarti sama dengan makhluk-Nya sendiri. Dengan
demikian jika Allah membutuhkan untuk duduk atau bertempat di atas arsy,
lalu sebelum menciptakan arsy dimanakah Ia? (Artinya, jika sebelum
menciptakan arsy Dia tanpa tempat, dan setelah menciptakan arsy Dia
berada di atasnya, berarti Dia berubah, sementara perubahan adalah tanda
makhluk). Allah maha suci dari pada itu semua dengan kesucian yang
agung” (Lihat al-Washiyyah dalam kumpulan risalah-risalah Imam Abu
Hanifah tahqiq Muhammad Zahid al-Kautsari, h. 2. juga dikutip oleh
Mullah Ali al-Qari dalam Syarh al-Fiqhul Akbar, h. 70).
(Note: Mereka sering serampangan menghujat secara jahil bahwa kita punya keyakinan "Tuhan itu ada dimana- mana". Padahal kita tidak pernah memiliki keyakinan seperti itu. Keyakinan kita adalah "Tuhan itu TIDAK MEMBUTUHKAN DAN TIDAK DIBATASI OLEH WAKTU MAUPUN TEMPAT ", sesuai pernyataan Imam Asy'ary dan Imam Abu Hanifah diatas).
(Note: Mereka sering serampangan menghujat secara jahil bahwa kita punya keyakinan "Tuhan itu ada dimana- mana". Padahal kita tidak pernah memiliki keyakinan seperti itu. Keyakinan kita adalah "Tuhan itu TIDAK MEMBUTUHKAN DAN TIDAK DIBATASI OLEH WAKTU MAUPUN TEMPAT ", sesuai pernyataan Imam Asy'ary dan Imam Abu Hanifah diatas).
Dalam al-Fiqh al-Absath, al-Imam Abu Hanifah menuliskan:
قُلْتُ: أرَأيْتَ لَوْ قِيْلَ أيْنَ اللهُ؟ يُقَالُ لَهُ: كَانَ اللهُ
تَعَالَى وَلاَ مَكَانَ قَبْلَ أنْ يَخْلُقَ الْخَلْقَ، وَكَانَ اللهُ
تَعَالَى وَلَمْ يَكُنْ أيْن وَلاَ خَلْقٌ وَلاَ شَىءٌ، وَهُوَ خَالِقُ
كُلّ شَىءٍ.
“Aku katakan: Tahukah engkau jika ada
orang berkata: Di manakah Allah? Jawab: Dia Allah ada tanpa permulaan
dan tanpa tempat, Dia ada sebelum segala makhluk-Nya ada. Allah ada
tanpa permulaan sebelum ada tempat, sebelum ada makhluk dan sebelum
segala suatu apapun. Dan Dia adalah Pencipta segala sesuatu” (Lihat
al-Fiqh al-Absath karya al-Imam Abu Hanifah dalam kumpulan
risalah-risalahnya dengan tahqiq Muhammad Zahid al-Kautsari, h. 20).
Sementara
itu Imam Malik Imam Darul Hijrah sebagaimana disebutkan oleh Al-Hafizh
al-Bayhaqi dalam karyanya berjudul al-Asma’ Wa ash-Shifat, dengan sanad
yang baik (jayyid), -sebagaimana penilaian al-Hafizh Ibn Hajar
al-Asqalani dalam Fath al-Bari-, meriwayatkan dari al-Imam Malik dari
jalur Abdullah ibn Wahb, bahwa ia -Abdullah ibn Wahb-, berkata:
“Suatu ketika kami berada di majelis al-Imam Malik,
tiba-tiba seseorang datang menghadap al-Imam, seraya berkata: Wahai Abu
Abdillah, ar-Rahman ‘Ala al-arsy Istawa, bagaimanakah Istawa Allah?.
Abdullah ibn Wahab berkata: Ketika al-Imam Malik mendengar perkataan
orang tersebut maka beliau menundukan kepala dengan badan bergetar
dengan mengeluarkan keringat. Lalu beliau mengangkat kepala menjawab
perkataan orang itu: “ar-Rahman ‘Ala al-arsy Istawa sebagaimana Dia
mensifati diri-Nya sendiri, tidak boleh dikatakan bagi-Nya bagaimana,
karena “bagaimana” (sifat benda) tidak ada bagi-Nya. Engkau ini adalah
seorang yang berkeyakinan buruk, ahli bid’ah, keluarkan orang ini dari
sini”. Lalu kemudian orang tersebut dikeluarkan dari majelis al-Imam
Malik (Al-Asma’ Wa ash-Shifat, h. 408)”.
Adapun Imam Asy-Syafi’I berkata dengan sangat jelas :
واعلموا أن الله تعالى لا مكان له، والدليل عليه هو أن الله تعالى كان
ولا مكان له فخلق المكان وهو على صفته الأزلية كما كان قبل خلقه المكان، إذ
لا يجوز عليه التغير في ذاته ولا التبديل في صفاته، ولأن من له مكان فله
تحت، ومن له تحت يكون متناهي الذات محدودا والحدود مخلوق، تعالى الله عن
ذلك علوا كبيرا، ولهذا المعنى استحال عليه الزوجة والولد لأن ذلك لا يتم
إلا بالمباشرة والاتصال والانفصال (الفقه الأكبر، ص13)
“Ketahuilah
bahwa Allah tidak bertempat. Dalil atas ini adalah bahwa Dia ada tanpa
permulaan dan tanpa tempat. Setelah menciptakan tempat Dia tetap pada
sifat-Nya yang Azali sebelum menciptakan tempat, ada tanpa tempat. Tidak
boleh pada hak Allah adanya perubahan, baik pada Dzat-Nya maupun pada
sifat-sifat-Nya. Karena sesuatu yang memiliki tempat maka ia pasti
memiliki arah bawah, dan bila demikian maka mesti ia memiliki bentuk
tubuh dan batasan, dan sesuatu yang memiliki batasan mestilah ia
merupakan makhluk, Allah Maha Suci dari pada itu semua. Karena itu pula
mustahil atas-Nya memiliki istri dan anak, sebab perkara seperti itu
tidak terjadi kecuali dengan adanya sentuhan, menempel, dan terpisah,
dan Allah mustahil bagi-Nya terbagi-bagi dan terpisah-pisah. Karenanya
tidak boleh dibayangkan dari Allah adanya sifat menempel dan berpisah.
Oleh sebab itu adanya suami, istri, dan anak pada hak Allah adalah
sesuatu yang mustahil” (al-Fiqh al-Akbar, h. 13).
Pada bagian lain dalam kitab yang sama tentang firman Allah QS. Thaha: 5 (ar-Rahman ‘Ala al-‘Arsy Istawa), Imam asy-Syafi’i berkata:
إن هذه الآية من المتشابهات، والذي نختار من الجواب عنها وعن أمثالها
لمن لا يريد التبحر في العلم أن يمر بها كما جاءت ولا يبحث عنها ولا يتكلم
فيها لأنه لا يأمن من الوقوع في ورطة التشبيه إذا لم يكن راسخا في العلم،
ويجب أن يعتقد في صفات الباري تعالى ما ذكرناه، وأنه لا يحويه مكان ولا
يجري عليه زمان، منزه عن الحدود والنهايات مستغن عن المكان والجهات، ويتخلص
من المهالك والشبهات (الفقه الأكبر، ص 13)
“Ini
termasuk ayat mutasyâbihât. Jawaban yang kita pilih tentang hal ini dan
ayat-ayat yang semacam dengannya bagi orang yang tidak memiliki
kompetensi di dalamnya adalah agar mengimaninya dan tidak –secara
mendetail– membahasnya dan membicarakannya. Sebab bagi orang yang tidak
kompeten dalam ilmu ini ia tidak akan aman untuk jatuh dalam kesesatan
tasybîh. Kewajiban atas orang ini –dan semua orang Islam– adalah
meyakini bahwa Allah seperti yang telah kami sebutkan di atas, Dia tidak
diliputi oleh tempat, tidak berlaku bagi-Nya waktu, Dia Maha Suci dari
batasan-batasan (bentuk) dan segala penghabisan, dan Dia tidak
membutuhkan kepada segala tempat dan arah, Dia Maha suci dari kepunahan
dan segala keserupaan” (al-Fiqh al-Akbar, h. 13).
Al-Imam al-Mujtahid Abu ‘Abdillah Ahmad ibn Hanbal
(w 241 H), perintis madzhab Hanbali, juga seorang Imam yang agung ahli
tauhid. Beliau mensucikan Allah dari tempat dan arah. Bahkan beliau
adalah salah seorang terkemuka dalam akidah tanzih. Dalam pada ini
as-Syaikh Ibn Hajar al-Haitami menuliskan:
وَمَا اشْتُهِرَ بَيْنَ جَهَلَةِ الْمَنْسُوْبِيْنَ إلَى هذَا الإمَامِ
الأعْظَمِ الْمُجْتَهِدِ مِنْ أنّهُ قَائِلٌ بِشَىءٍ مِنَ الْجِهَةِ أوْ
نَحْوِهَا فَكَذِبٌ وَبُهْتَانٌ وَافْتِرَاءٌ عَلَيْهِ.
“Apa
yang tersebar di kalangan orang-orang bodoh yang menisbatkan dirinya
kepada madzhab Hanbali bahwa beliau telah menetapkan adanya tempat dan
arah bagi Allah, maka sungguh hal tersebut adalah merupakan kedustaan
dan kebohongan besar atasnya” (Lihat Ibn Hajar al-Haitami dalam
al-Fatawa al-Haditsiyyah, h. 144)
Menyelewengkan Makna Hadits al-Jariyah
Ada sebuah hadits yang dikenal dengan Hadits al-Jariyah,
hadits tentang seorang budak perempuan yang dihadapkan kepada
Rasulullah. Hadits ini diriwayatkan oleh al-Imam Muslim; bahwa seorang
sahabat datang menghadap Rasulullah menanyakan prihal budak perempuan
yang dimilikinya, ia berkata: ”Wahai Rasulullah, tidakkah aku merdekakan
saja?”. Rasulullah berkata: ”Datangkanlah budak perempuan tersebut
kepadaku”. Setelah budak perempuan tersebut didatangkan, Rasulullah
bertanya kepadanya: “Aina Allah?”. Budak tersebut menjawab: “Fi
as-sama’”. Rasulullah bertanya: “Siapakah aku?”. Budak menjawab: “Engkau
Rasulullah”. Lalu Rasulullah berkata (kepada pemiliknya):
“Merdekakanlah budak ini, sesungguhnya ia seorang yang beriman” . (HR.
Muslim)
Pemahaman hadits ini bukan berarti bahwa Allah
bertempat di langit seperti yang dipahami oleh kaum Wahhabiyyah, tetapi
makna “Fi as-Sama’” dalam perkataan budak tersebut adalah untuk
mengungkapkan bahwa Allah Maha Tinggi sekali pada derajat dan
keagungan-Nya. Pemahaman teks ini harus demikian agar sesuai dengan
pemahaman bahasa. Seperti perkataan salah seorang penyair mashur;
an-Nabighah al-Ju’di, dalam sebuah sairnya berkata:
بَلَغْنَا السّمَاءَ مَجْدُنَا وَسَنَاؤُنَا # وَإنّا لَنَرْجُو فَوْقَ ذَلِكَ مَظْهَرَا
“Kemuliaan
dan kebesaran kami telah mencapai langit, dan sesungguhnya kita
mengharapkan hal tersebut lebih tinggi lagi dari pada itu”
Pemahaman
bait syair ini bukan berarti bahwa kemuliaan mereka bertempat di
langit, tetapi maksudnya bahwa kemuliaan mereka tersebut sangat tinggi.
Kemudian
dari pada itu, sebagian ulama hadits telah mengkritik Hadits al-Jariyah
ini, mereka mengatakan bahwa hadits tersebut sebagai hadits mudltharib,
yaitu hadits yang berbeda-beda antara satu riwayat dengan riwayat
lainnya, baik dari segi sanad (mata rantai) maupun matan-nya (redaksi).
Kritik mereka ini dengan melihat kepada dua segi berikut;
Pertama:
Bahwa hadits ini diriwayatkan dengan sanad dan matan (redaksi) yang
berbeda-beda; ini yang dimaksud hadits mudltharib. Di antaranya; dalam
matan Ibn Hibban dalam kitab Shahih-nya diriwayatkan dari asy-Syuraid
ibn Suwaid al-Tsaqafi, sebagai berikut: ”Aku (asy-Syuraid ibn Suwaid
al-Tsaqafi) berkata: “Wahai Rasulullah sesungguhnya ibuku berwasiat
kepadaku agar aku memerdekakan seorang budak atas nama dirinya, dan saya
memiliki seorang budak perempuan hitam”. Lalu Rasulullah berkata:
“Panggilah dia!”. Kemudian setelah budak perempuan tersebut datang,
Rasulullah berkata kepadanya: “Siapakah Tuhanmu?”, ia menjawab: “Allah”.
Rasulullah berkata: “Siapakah aku?”, ia menjawab: “Rasulullah”. Lalu
Rasulullah berkata: “Merdekakanlah ia karena ia seorang budak perempuan
yang beriman” .
Sementara dalam redaksi riwayat al-Imam
al-Bayhaqi bahwa Rasulullah bertanya kepada budak perempuan tersebut
dengan mempergunakan redaksi: “Aina Allah?”, lalu kemudian budak
perempuan tersebut berisyarat dengan telunjuknya ke arah langit. Dalam
riwayat ini disebutkan bahwa budak tersebut adalah seorang yang bisu.
Kemudian
dalam riwayat lainnya, masih dalam riwayat al-Imam al-Bayhaqi, Hadits
al-Jariyah ini diriwayatkan dengan redaksi: “Siapa Tuhanmu?”. Budak
perempuan tersebut menjawab: “Allah Tuhanku”. Lalu Rasulullah berkata:
“Apakah agamamu?”. Ia menjawab: “Islam”. Rasulullah berkata: “Siapakah
aku?”. Ia menjawab: “Engkau Rasulullah”. Lalu Rasulullah berkata kepada
pemiliki budak: “Merdekakanlah!” .
Dalam riwayat
lainnya, seperti yang dinyatakan oleh al-Imam Malik, disebutkan dengan
memakai redaksi: “Adakah engkau bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang
berhak disembah kecuali Allah?”, budak tersebut menjawab: “Iya”.
Rasulullah berkata: “Adakah engkau bersaksi bahwa aku adalah utusan
Allah?”, budak tersebut menjawab: “Iya”. Rasulullah berkata: “Adakah
engkau beriman dengan kebangkitan setelah kematian?”, budak tersebut
menjawab: “Iya”. Lalu Rasulullah berkata kepada pemiliknya:
“Merdekakanlah ia” .
Riwayat al-Imam Malik terakhir
disebut ini adalah riwayat yang sejalan dengan dasar-dasar akidah,
karena dalam riwayat itu disebutkan bahwa budak perempuan tersebut
sungguh-sungguh datang dengan kesaksiannya terhadap kandungan dua
kalimat syahadat (asy-Syahadatayn), walaupun dalam riwayat al-Imam Malik
ini tidak ada ungkapan: “Fa Innaha Mu’minah” (Sesungguhnya ia seorang
yang beriman)”.
Dengan demikian riwayat al-Imam Malik
ini lebih kuat dari pada riwayat al-Imam Muslim, karena riwayat al-Imam
Malik ini sejalan dengan sebuah hadits mashur, bahwa Rasulullah
bersabda:
أُمِرْتُ أنْ أُقَاتِلَ النّاسَ حَتّى يَشْهَدُوا أنْ لاَ إلهَ إلاّ اللهُ وَأنّي رَسُوْلُ الله (رواه البخاري وغيره)
“Aku
diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka bersaksi bahwa
tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah dan bahwa saya adalah
utusan Allah” .
Riwayat al-Imam Malik ini juga sejalan
dengan sebuah hadits riwayat al-Imam an-Nasa-i dalam as-Sunan al-Kubra
dari sahabat Anas ibn Malik bahwa suatu ketika Rasulullah masuk ke
tempat seorang Yahudi yang sedang dalam keadaan sakit. Rasulullah
berkata kepadanya: “Masuk Islamlah engkau!”. Orang Yahudi tersebut
kemudian melirik kepada ayahnya, kemudian ayahnya berkata: “Ta’atilah
perintah Rasulullah”. Kemudian orang Yahudi tersebut berkata: “Aku
bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah, dan
aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah”. Lalu Rasulullah
berkata: “Segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkan dia dari api
neraka dengan jalan diriku” .
Ke dua; Bahwa riwayat
Hadits al-Jariyah yang mempergunakan redaksi “Aina Allah?”, adalah
riwayat yang menyalahi dasar-dasar akidah, karena di antara dasar akidah
untuk menghukumi seseorang dengan keislamannya bukan dengan mengatakan
“Allah Fi as-Sama’”. Tidak pernah dan tidak dibenarkan jika ada seorang
kafir yang hendak masuk Islam diambil ikrar darinya bahwa Allah berada
di langit. karena perkataan semacam ini jelas bukan merupakan kalimat
tauhid. Sebaliknya kata “Allah Fi as-sama’” adalah kalimat yang biasa
dipakai oleh orang-orang Yahudi dan orang-orang Nasrani, juga
orang-orang kafir lainnya dalam menetapkan keyakinan mereka. Akan tetapi
tolak dasar yang dibenarkan dalam syari’at Allah untuk menghukumi
keimanan seseorang adalah apa bila ia bersaksi dengan dua kalimat
syahadat sebagaimana tersebut dalam hadits mashur di atas.
(Masalah):
Jika seseorang berkata: Bagaimana mungkin riwayat al-Imam Muslim yang
menyebutkan dengan redaksi “Aina Allah?”, yang kemudian dijawab “Fi
as-sama’”, sebagai hadits yang tertolak, padahal bukankah seluruh
riwayat al-Imam Muslim dalam kitab Shahih-nya disebut dengan
hadits-hadits shahih?
(Jawab): Terdapat beberapa ulama
hadits telah menolak beberapa riwayat Muslim dalam kitab Shahih-nya
tersebut. Dan andaikan Hadits al-Jariyah tersebut tetap diterima sebagai
hadits shahih, maka hal itu bukan berarti maknanya bahwa Allah
bertempat di langit seperti yang dipahami oleh sebagian orang bodoh,
tetapi maknanya adalah bahwa Allah Maha tinggi sekali derajat dan
keagungannya. Dan di atas dasar makna inilah sebagian ulama Ahlussunah
ada yang tetap menerima Hadits al-Jariyah dari riwayat al-Imam Muslim
tersebut sebagai hadits shahih. Artinya, bahwa mereka tidak memaknai
Hadits al-Jariyah ini dalam pemahaman makna zhahirnya yang seakan
menetapkan bahwa Allah berada di langit. Pemahaman ulama Ahlussunnah ini
berbeda dengan keyakinan kaum Musyabbihah (Wahhabiyyah sekarang) yang
mamahami hadits tersebut sesuai makna zhahirnya, hingga mereka
mengatakan bahwa Allah berada di langit. Yang aneh, pada saat yang sama
mereka juga mengatakan bahwa Allah berada di atas arsy. di dua tempat
heh?!! A’udzu Billah. Lebih aneh lagi, teks-teks yang zhahirnya seakan
Allah berada di arah bumi/bawah tidak mereka ambil dalam makna-makna
zhahirnya. Pemahaman apa ini?!! Jelas, ini namanya pemahaman “seenak
perut”, pemahaman “semau gue” (tahkkum).
Diantaranya bagaimana pendapat dan pembahasan mereka jika hadist "Jariyah" diatas dihadapkan dengan hadist "Nukhomah" riwayat Bukhory dibawah ini yang tentu saja derajatnya lebih tinggi dibanding hadist "Jariyah" :
عَنْ أَنَسٍ ، أَنّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَى نُخَامَةً فِي الْقِبْلَةِ فَحَكَّهَا بِيَدِهِ ، وَرُئِيَ مِنْهُ كَرَاهِيَةٌ أَوْ رُئِيَ كَرَاهِيَتُهُ لِذَلِكَ ، وَشِدَّتُهُ عَلَيْهِ ، وَقَالَ : " إِنَّ أَحَدَكُمْ إِذَا قَامَ فِي صَلَاتِهِ فَإِنَّمَا يُنَاجِي رَبَّهُ أَوْ رَبُّهُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ قِبْلَتِهِ ، فَلَا يَبْزُقَنَّ فِي قِبْلَتِهِ ، وَلَكِنْ عَنْ يَسَارِهِ أَوْ تَحْتَ قَدَمِهِ ، ثُمَّ أَخَذَ طَرَفَ رِدَائِهِ فَبَزَقَ فِيهِ وَرَدَّ بَعْضَهُ عَلَى بَعْضٍ ، قَالَ : أَوْ يَفْعَلُ هَكَذَا " .
Diantaranya bagaimana pendapat dan pembahasan mereka jika hadist "Jariyah" diatas dihadapkan dengan hadist "Nukhomah" riwayat Bukhory dibawah ini yang tentu saja derajatnya lebih tinggi dibanding hadist "Jariyah" :
عَنْ أَنَسٍ ، أَنّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَى نُخَامَةً فِي الْقِبْلَةِ فَحَكَّهَا بِيَدِهِ ، وَرُئِيَ مِنْهُ كَرَاهِيَةٌ أَوْ رُئِيَ كَرَاهِيَتُهُ لِذَلِكَ ، وَشِدَّتُهُ عَلَيْهِ ، وَقَالَ : " إِنَّ أَحَدَكُمْ إِذَا قَامَ فِي صَلَاتِهِ فَإِنَّمَا يُنَاجِي رَبَّهُ أَوْ رَبُّهُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ قِبْلَتِهِ ، فَلَا يَبْزُقَنَّ فِي قِبْلَتِهِ ، وَلَكِنْ عَنْ يَسَارِهِ أَوْ تَحْتَ قَدَمِهِ ، ثُمَّ أَخَذَ طَرَفَ رِدَائِهِ فَبَزَقَ فِيهِ وَرَدَّ بَعْضَهُ عَلَى بَعْضٍ ، قَالَ : أَوْ يَفْعَلُ هَكَذَا " .
رواه البخاري
Dari sahabat Anas, sesungguhnya Nabi SAW melihat dahak diarah qiblat. Maka Nabi mengeruknya dengan tangannya.Dan terlihat dari wajah akan ketidak sukaan beliau (atau terlihat ketidak sukaan beliau tentang itu), dan kebencian beliau tentang itu, dan beliau bersabda: "Sesungguhnya salah seorang dari kalian apabila melaksanakan sholatnya, maka sesungguhnya ia bermunajat kepada Rob nya, atau Rob nya ada diantara dia dan diantara qiblatnya. Maka benar- benar jangan meludah pada (arah) qiblatnya, akan tetapi kearah kirinya atau kebawah telapak kakinya. Kemudian beliau mengambil sudut Rida'/ kerudungnya kemudian beliau meludah di sudut rida' itu dan kemudian melipatnya satu sama lain, dan beliau bersabda: "Atau lakukan seperti ini". HR. Bukhory.
Kita tidak tahu mengapa kaum Mujassimah tak mau menghadapkan hadist "Jariyah" dengan hadist "Nukhomah" ini.
Dari sahabat Anas, sesungguhnya Nabi SAW melihat dahak diarah qiblat. Maka Nabi mengeruknya dengan tangannya.Dan terlihat dari wajah akan ketidak sukaan beliau (atau terlihat ketidak sukaan beliau tentang itu), dan kebencian beliau tentang itu, dan beliau bersabda: "Sesungguhnya salah seorang dari kalian apabila melaksanakan sholatnya, maka sesungguhnya ia bermunajat kepada Rob nya, atau Rob nya ada diantara dia dan diantara qiblatnya. Maka benar- benar jangan meludah pada (arah) qiblatnya, akan tetapi kearah kirinya atau kebawah telapak kakinya. Kemudian beliau mengambil sudut Rida'/ kerudungnya kemudian beliau meludah di sudut rida' itu dan kemudian melipatnya satu sama lain, dan beliau bersabda: "Atau lakukan seperti ini". HR. Bukhory.
Kita tidak tahu mengapa kaum Mujassimah tak mau menghadapkan hadist "Jariyah" dengan hadist "Nukhomah" ini.
Penjelasan lebih lanjut tentang Hadits al-Jariyah, baca syarah Shahih Muslim (al-Minhaj Bi Syarh Shahih Muslim ibn al-Hajjaj) karya al-Imam an-Nawawi (w 676 H)
INTI KESIMPULAN:
Dalam
mentafsirkan NASH/ Dalil- dalil yang MUSYTABIHAT maka kaum Ahlus Unnah
Wal Jama'ah sejati yang diusung oleh Asy'ary dan Ma'turidy menyatakan
sebagaimana termaktub dalam TUHFATUL MURID Syarah Jauharotut Tauhid,
sebuah kitab AQIDAH standart yang biasa dipakai di pesantren- pesatren
terkenal di seluruh Indonesia bahkan dunia, pada halaman 53 demikian:
" WAKULLU NASSHIN AUHAMAT TASYBIIHAA #
" AWWILHU AU FAWWIDH WA RUM TANZIIHAA" #
Artinya:
" Dan pada NASH Ayat/ Dalil yang dapat dipersepsikan Tasybih #
" Maka hendak lah kau TA'WIL atau (kau pilih) Tafwidh dengan tujuan
me Mahasucikan Allah".
Maka
menurut Faham Ahlussunnah Waljama'ah/ Asy'ariyah & Ma'turidiyyah,
jika kita temui ayat- ayat seperti itu, seperti yang mengandung makna
ISTIWA, dan sepadannya, kita pilih:
1. Tafwidh Tanzih, artinya kita serahkan maknanya apa adanya tanpa mempersoalkan bagaimananya, atau:
2. Dita'wil TANZIH, artinya dita'wil sesuai dengan sifat- sifat KEMAHASUCIAN ALLOH.
TAMBAHAN PERBANDINGAN:
1. Makna Lahir dan makna Majazi
1. Makna Lahir dan makna Majazi
Dalam
pemahaman bahasa, kalimat ISTIWA' yang maknanya "DUDUK", sebagaimana
dalam bahasa Indonesia juga memiliki makna dlahir (apa adanya) ada yang
mengandung makna MAJAZI/ Kiasan, seumpama:
- Umar menduduki kursi yang baru dicat. Maknanya benar- benar duduk
- Suharto telah menduduki kursi kepresidenan selama lebih 33 tahun. Maknanya:menjabat.
- Amerika telah menduduki Baghdad. Maknanya: menguasai.
- Aminah menduduki ranking tertinggi. Maknanya: posisi rankingnya tertinggi.
2. Contoh Lafadh ISTIWA' Dalam Ayat Al- Qur'an Yang Lain:
- Kapal Nabi Nuh ISTIWA" di gunung Judy. Ta'wil maknanya mendarat.(QS.Hud. 44)
- Maka tunas itu ISTIWA' pada pokoknya. Ta'wil maknanya: tunas itu tumbuh kokoh pada pokoknya.
(QS AlFath. 6)
- Tatkala Musa telah dewasa dan dia telah ISTIWA'. Ta'wil maknanya: telah sempurna akalnya.
(QS. AlQoshos 14).
- Malaikat Jibril yang cerdas itu telah ISTIWA'. Ta'wil maknanya: menampakkan diri kepada Muhammad
(QS/An Najm 6).
- Apabila kamu telah ISTIWA' diatas kapal bersama orang yang bersamamu, ...(QS.AlMukminun 28).
Ta'wil maknanya: telah naik kekapal.
- Apabila kalian telah Istiwa' atas kendaraan itu maka hendaklah kalian berdoa" Subhaanalladzi sakkhoro lanaa haadzaa....(QS. Az Zukhruf 13). Takwil maknanya: telah naik dan duduk di atas kekendaraan...
3. In Konsistensi Pemaknaan.
3. In Konsistensi Pemaknaan.
Jika
memang konsisten tidak boleh menta'wil lafadh ISTIWA" dalam Al- Qur'an,
coba artikan kalimat pada ayat- ayat diatas juga tanpa ta'wil. Hasil
maknanya pasti sebagiannya menjadi rancu dan kacau.
4, Adanya Sekelompok Orang Yang Pandai Baca Qur'an,
Tapi Pemahaman Dan Imannya Tidak Sampai Tenggorokan.
Dalam sebuah hadist yang panjang beliau Nabi SAW bersabda: "Biarkanlah dia (Dzul Khuwaisiroh). Karena dia nanti akan memiliki teman-teman
yang salah seorang dari kalian akan memandang remeh shalat kalian
jika dibanding (kesempurnaan) shalat mereka, puasa
kalian dibanding puasa mereka. Mereka membaca Al Qur’an
namun tidak sampai ke tenggorokan mereka. Mereka keluar dari agama seperti
melesatnya anak panah dari target (hewan buruan)". (HR Bukhari 3341 dari Abu
Sa'id Al- Khudhry).
Dalam Riwayat Muslim,
Rasululloh menyatakan bahwa iman mereka tidak sampai ke tenggorokan alias
IMANNYA DANGKAL sebagaimana hadist dibawah ini.
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Akan muncul suatu sekte/firqoh/kaum dari umatku
yang pandai membaca Al Qur`an. Dimana, bacaan kalian tidak ada apa-apanya
dibandingkan dengan bacaan mereka. Demikian
pula shalat kalian daripada shalat mereka. Juga puasa mereka
dibandingkan dengan puasa kalian. Mereka membaca Al Qur`an dan mereka menyangka
bahwa Al Qur`an itu adalah (hujjah) bagi mereka, namun ternyata Al Qur`an itu adalah
(bencana) atas mereka. Shalat mereka tidak sampai melewati batas
tenggorokan. Mereka keluar dari Islam sebagaimana anak panah
meluncur dari busurnya”. (HR Muslim 1773)
Lihat:
http://www.sunna.info/Lessons/islam_522.html
-
https://muslim.or.id/56-sifat-istiwa-allah-di-atas-arsy.html
BalasHapushttps://muslim.or.id/18545-menjawab-beberapa-syubhat-seputar-sifat-istiwa.html
BalasHapushttps://muslim.or.id/24730-apakah-allah-butuh-kepada-arsy.html
BalasHapus