Daftar Isi:
A-Setelah sholat Ied, apakah masih harus sholat Jum'at?
B-Bolehkah menjual kulit qurban untuk upah? Bagaimana kalau diserahkan kepada seseorang kemudian oleh orang tersebut daging atau kulitnya dijual?
C-Bolehkah memberikan daging qurban untuk orang kafir?
D-Menabung untuk qurban, apakah termasuk qurban Nadzar, bolehkah keluarga korban ikut makan dagingnya?
E- Benarkah yang akan berkorban dilarang memotong kuku dan bercukur?
F- Qurban untuk bapaknya yang sudah meninggal, apakah boleh?
A-Setelah sholat Ied, apakah masih harus sholat Jum'at?
B-Bolehkah menjual kulit qurban untuk upah? Bagaimana kalau diserahkan kepada seseorang kemudian oleh orang tersebut daging atau kulitnya dijual?
C-Bolehkah memberikan daging qurban untuk orang kafir?
D-Menabung untuk qurban, apakah termasuk qurban Nadzar, bolehkah keluarga korban ikut makan dagingnya?
E- Benarkah yang akan berkorban dilarang memotong kuku dan bercukur?
F- Qurban untuk bapaknya yang sudah meninggal, apakah boleh?
A. SETELAH SHOLAT IED, APAKAH MASIH HARUS SHOLAT JUM'AT
Pertanyaan:
Bila Hari raya Ied jatuh pada hari Jum’at, Apakah sebaiknya
tetap melaksanakan sholat Jum’at?
Jawab:
Sebaiknya Imam tetap menyelenggarakan sholat Jum’at bersama
para ahli Jum’at yang ada disekitar Masjid, Walaupun ada pernyataan Nabi bahwa
orang- orang yang jauh dari mesjid tidak usah lagi datang untuk menunaikan
sholat Jum’at bila mereka saat pagi harinya telah melaksanakan sholat Ied.
Dasarnya adalah:
Pertama: Keumuman firman Allah Ta’ala,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلاةِ مِنْ يَوْمِ
الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ
“Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan sembahyang pada
hari Jumat, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah
jual beli.” (QS. Al Jumu’ah: 9)
Kedua: Dalil yang menunjukkan wajibnya shalat Jum’at. Di antara sabda
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَنْ تَرَكَ ثَلاَثَ جُمَعٍ تَهَاوُنًا بِهَا طَبَعَ اللَّهُ عَلَى
قَلْبِهِ
“Barangsiapa meninggalkan tiga shalat Jum’at, maka Allah akan mengunci pintu
hatinya.”[ HR. Abu Daud no. 1052, dari Abul
Ja’di Adh Dhomri. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih].
Ancaman keras seperti ini menunjukkan
bahwa shalat Jum’at itu wajib.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
الْجُمُعَةُ حَقٌّ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ فِى جَمَاعَةٍ إِلاَّ
أَرْبَعَةً عَبْدٌ مَمْلُوكٌ أَوِ امْرَأَةٌ أَوْ صَبِىٌّ أَوْ مَرِيضٌ
“Shalat Jum’at merupakan suatu kewajiban bagi setiap muslim dengan berjama’ah
kecuali empat golongan: [1] budak, [2] wanita, [3] anak kecil, dan [4] orang
yang sakit.”[ HR. Abu Daud no. 1067, dari Thariq
bin Syihab. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih]
KERINGANAN MENINGGALKAN SHOLAT JUM'AT
Keringanan meninggalkan shalat Jum’at bagi yang telah melaksanakan
shalat ‘ied adalah khusus untuk ahlul bawadiy (orang yang nomaden
seperti suku Badui). Dalilnya adalah,
قَالَ أَبُو
عُبَيْدٍ ثُمَّ شَهِدْتُ مَعَ عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ فَكَانَ ذَلِكَ
يَوْمَ الْجُمُعَةِ ، فَصَلَّى قَبْلَ الْخُطْبَةِ ثُمَّ خَطَبَ فَقَالَ
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ هَذَا يَوْمٌ قَدِ اجْتَمَعَ لَكُمْ فِيهِ
عِيدَانِ ، فَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَنْتَظِرَ الْجُمُعَةَ مِنْ أَهْلِ
الْعَوَالِى فَلْيَنْتَظِرْ ، وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَرْجِعَ فَقَدْ
أَذِنْتُ لَهُ
“Abu ‘Ubaid berkata bahwa beliau pernah
bersama ‘Utsman bin ‘Affan dan hari tersebut adalah hari Jum’at.
Kemudian beliau shalat ‘ied sebelum khutbah. Lalu beliau berkhutbah dan
berkata, “Wahai sekalian manusia. Sesungguhnya ini adalah hari di mana
terkumpul dua hari raya (dua hari ‘ied). Siapa saja dari yang nomaden
(tidak menetap) ingin menunggu shalat Jum’at, maka silakan. Namun siapa
saja yang ingin pulang, maka silakan dan telah kuizinkan.”[Bukhori hadist no 5572]
Pendapat
Kedua: Bagi orang yang telah menghadiri shalat ‘Ied boleh tidak
menghadiri shalat Jum’at. Namun imam masjid dianjurkan untuk tetap
melaksanakan shalat Jum’at agar orang-orang yang punya keinginan
menunaikan shalat Jum’at bisa hadir, begitu pula orang yang tidak shalat
‘ied bisa turut hadir.
Pendapat ini dipilih oleh
mayoritas ulama Hambali. Dan pendapat ini terdapat riwayat dari ‘Umar,
‘Utsman, ‘Ali, Ibnu ‘Umar, Ibnu ‘Abbas dan Ibnu Az Zubair. Dalil dari
pendapat ini adalah:
Pertama: Diriwayatkan dari Iyas
bin Abi Romlah Asy Syamiy, ia berkata, “Aku pernah menemani Mu’awiyah
bin Abi Sufyan dan ia bertanya pada Zaid bin Arqom,
أَشَهِدْتَ
مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عِيدَيْنِ اجْتَمَعَا فِى
يَوْمٍ قَالَ نَعَمْ. قَالَ فَكَيْفَ صَنَعَ قَالَ صَلَّى الْعِيدَ ثُمَّ
رَخَّصَ فِى الْجُمُعَةِ فَقَالَ « مَنْ شَاءَ أَنْ يُصَلِّىَ فَلْيُصَلِّ
».
“Apakah engkau pernah menyaksikan Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bertemu dengan dua ‘ied (hari Idul Fithri
atau Idul Adha bertemu dengan hari Jum’at) dalam satu hari?” “Iya”,
jawab Zaid. Kemudian Mu’awiyah bertanya lagi, “Apa yang beliau lakukan
ketika itu?” “Beliau melaksanakan shalat ‘ied dan memberi keringanan
untuk meninggalkan shalat Jum’at”, jawab Zaid lagi. Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa yang mau shalat Jum’at, maka
silakan.”[Abu Dawud no 1070 dan Ibnu Majah 1316]
Asy Syaukani dalam As Sailul Jaror (1/304)
mengatakan bahwa hadits ini memiliki syahid (riwayat penguat). An
Nawawi dalam Al Majmu’ (4/492) mengatakan bahwa sanad hadits ini jayyid
(antara shahih dan hasan, pen). ‘Abdul Haq Asy Syubaili dalam Al Ahkam
Ash Shugro (321) mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih. ‘Ali Al
Madini dalam Al Istidzkar (2/373) mengatakan bahwa sanad hadits ini
jayyid (antara shahih dan hasan, pen). Syaikh Al Albani dalam Al Ajwibah
An Nafi’ah (49) mengatakan bahwa hadits ini shahih.[6] Intinya, hadits
ini bisa digunakan sebagai hujjah atau dalil.
Imam Syafi'i mengumpulkan hadist diatas dengan hadist riwayat
Bukhori no 5572 tersebut dimana pada riwayat Bukhori ada pernyataan: " Siapa saja dari yang nomaden
(tidak menetap) ingin menunggu shalat Jum’at, maka silakan. Namun siapa
saja yang ingin pulang, maka silakan dan telah kuizinkan.”. Kalimat "nomaden" adalah sebagai TAQYID/ batasan- tentang kebolehan seseorang untuk meninggalkan sholat jum'at bila sudah melaksanakan sholat Ied. Sehingga bagi jama'ah yang dekat dengan mesjid tetap harus (dianjurkan) sholat Jum'at. Sebagaimana Nabi dan para sahabat yang tinggal di Madinah tetap menyelenggarakan sholat Jum'at.
Memang ada beberapa sahabat yang asli penduduk Madinah tapi tidak mengikuti sholat Jum'at ketika ia sudah mengikuti sholat Ied seperti Ibnu Zubair, Namun Rasulullah sendiri sebagai teladan terbaik tetap melakukan juga sholat jum'at diikuti oleh ribuan sahabat lain yang tinggal di Madinah, sebagaimana hadist dibawah ini:
Dari An Nu’man bin Basyir, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقْرَأُ فِى الْعِيدَيْنِ
وَفِى الْجُمُعَةِ بِ (سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الأَعْلَى) وَ (هَلْ أَتَاكَ
حَدِيثُ الْغَاشِيَةِ) قَالَ وَإِذَا اجْتَمَعَ الْعِيدُ وَالْجُمُعَةُ فِى
يَوْمٍ وَاحِدٍ يَقْرَأُ بِهِمَا أَيْضًا فِى الصَّلاَتَيْنِ.
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa membaca dalam dua ‘ied,
yaitu shalat Jum’at “Sabbihisma robbikal a’la” dan “Hal ataka haditsul
ghosiyah”.” An Nu’man bin Basyir mengatakan begitu pula ketika hari ‘ied
bertepatan dengan hari Jum’at, beliau membaca kedua surat tersebut di
masing-masing shalat.[HR. Muslim no 878]
Wallohu A'lam.
B. MENJUAL KULIT HEWAN QURBAN UNTUK UPAH
Pertanyaan:
Bolehkah memberikan/ menjual kulit hewan qurban kepada
penjagal sebagai upah menyembelih atau menjual kepada lainnya:
Jawab:
Tidak boleh. Pemilik hewan qurban harus seutuhnya
100% menyerahkan hewan itu untuk qurban. Si pemilik boleh mengambil sedikit
dagingnya untuk dimakan, tidak untuk dijual atau untuk upah. Adapun setelah daging atau kulit tersebut
disodaqohkan, kemudian oleh si penerima dijual atau dimakan atau disodaqohkan
lagi kepada orang lain, itu tidak masalah.
CONTOH KASUS:
1. BOLEH:
Seseorang akan berkorban dan beli kambing dengan harganya.
Kemudian ia menyerahkan kambing itu 100% ke sebuah panitiya PLUS ongkos
menyembelih sebesar Rp. 50.000/ kambing. Setelah kambing disembelih ia
mengambil sedikit dagingnya untuk keluarganya, menyuruh panitiya untuk membagikan
daging qurban untuk fakir miskin dan mensodaqohkan kulitnya untuk mesjid. Oleh
panitiya mesjid kulit dijual untuk kepentingan mesjid.
2. TIDAK BOLEH:
Seseorang akan berkorban dan beli kambing dengan harganya.
Kemudian ia menyerahkan kambing itu ke sebuah panitiya TANPA ONGKOS
MENYEMBELIH. Kambing disembelih oleh tukang jagal dan panitiya MEMBAYAR kerja tukang jagal dengan kulit/ bagian tubuh sembelihan
tersebut .
3. TIDAK BOLEH:
Seseorang akan berkorban dan beli kambing dengan harganya.
Kemudian ia menyerahkan kambing itu ke sebuah panitiya TANPA ONGKOS
MENYEMBELIH. Kambing disembelih oleh tukang jagal dan panitiya MEMBAYAR kerja tukang jagal dengan UANG KAS MESJID (dipinjami dulu). Kemudian
panitiya menjual kulit hewan qurban tersebut untuk mengganti kas mesjid yang
dipinjam.
4. TIDAK BOLEH:
Seseorang akan berkorban dan beli kambing dengan harganya.
Kemudian ia menyerahkan kambing itu ke tukang jagal. Sebagai upahnya, ia
berikan kulit atau kepalanya kepada tukang jagal. (Berarti sepertinya dia berqurban dengan
kambing tanpa kulit atau tanpa kepala)
BEBERAPA DALIL
[1]. Hadits Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu.
dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ’anhu,
أَنَّ النَّبِىَّ - صلى الله
عليه وسلم - أَمَرَهُ أَنْ يَقُومَ عَلَى بُدْنِهِ ، وَأَنْ يَقْسِمَ بُدْنَهُ
كُلَّهَا ، لُحُومَهَا وَجُلُودَهَا وَجِلاَلَهَا ] فِى الْمَسَاكِينِ[ ،
وَلاَ يُعْطِىَ فِى جِزَارَتِهَا شَيْئًا
“Artinya : Dari Ali Radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam memerintahkannya agar dia mengurusi budn (onta-onta hadyu) Beliau ,
membagi semuanya, dan jilalnya [Jilal adalah pakaian kelengkapan onta.pen.] (pada orang-orang miskin). Dan dia tidak
boleh memberikan sesuatupun (dari kurban itu) kepada penjagalnya”. [HR Bukhari
no. 1717, tambahan dalam kurung riwayat Muslim no. 439/1317]
Pada riwayat lain disebutkan, Ali Radhiyallahu ‘anhu berkata.
“Artinya : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkanku agar aku
mengurusi onta-onta kurban Beliau, menshadaqahkan dagingnya, kulitnya dan
jilalnya. Dan agar aku tidak memberikan sesuatupun (dari kurban itu) kepada
tukang jagalnya. Dan Beliau bersabda : “Kami akan memberikan (upah) kepada
tukang jagalnya dari kami” [HR Muslim no. 348, 1317]
Hadits ini secara jelas menunjukkan, bahwa Ali diperintahkan oleh Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menshadaqahkan daging hadyu, kulitnya,
bahkan jilalnya. Dan tidak boleh mengambil sebagian dari binatang kurban itu
untuk diberikan kepada tukang jagalnya sebagai upah, karena hal ini termasuk
jaul beli. Dari hadits ini banyak ulama mengambil dalil tentang terlarangnya
menjual sesuatu dari binatang kurban, termasuk menjual kulitnya.
[2]. Hadits Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu
“Artinya : Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda :”Barangsiapa menjual kulit binatang kurbannya, maka
tidak ada kurban baginya”.
Syaikh Abul Hasan As-Sulaimani menjelaskan, hadits ini diriwayatkan oleh
Al-Hakim (2/389-390) dan Al-Baihaqi (99/294) . Namun di dalam sanadnya terdapat
perawi bernama Abdullah bin Ayyasy, dan dia seorang yang jujur namun berbuat
keliru, perawi yang tidak dijadikan hujjah. [5]
[3]. Hadits Abi Sa’id Al-khudri Radhiyallahu ‘anhu. Diriwayatkan bahwa Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Artinya : Janganlah kamu menjual daging hadyu dan kurban. Tetapi makanlah,
bershadaqahlah, dan gunakanlah kesenangan dengan kulitnya, namun janganlah kamu
menjualnya” [Hadits dha’if, riwayat Ahmad 4/15]
PENDAPAT PARA ULAMA
[1]. Imama Asy-Syafi’i rahimahullah berkata : “Jika
seseorang telah menetapkan binatang kurban, wolnya tidak dicukur. Adapun
binatang yang seseorang tidak menetapkannya sebagai kurban, dia boleh mencukur
wolnya. Binatang kurban termasuk "nusuk" (binatang yang disembelih untuk
mendekatkan diri kepada Allah), dibolehkan memakannya, memberikan makan (kepada
orang lain) dan menyimpannya. Ini semua boleh terhadap seluruh (bagian)
binatang kurban, kulitnya dan dagingnya. Aku membenci menjual sesuatu darinya.
(Adapun) menukarkannya merupakan jual beli”.
Beliau juga mengatakan : “Aku tidak mengetahui perselisihan di antara manusia
tentang ini, yaitu : Barangsiapa telah menjual sesuatu dari binatang kurbannya,
baik kulit atau lainnya, dia (harus) mengembalikan harganya –atau nilai apa
yang telah dia jual, jika nilainya lebih banyak dari harganya- untuk apa yang
binatang kurban dibolehkan untuknya. Sedangkan jika dia menshadaqahkannya,
(maka) lebih aku sukai, sebagaimana bershadaqah dengan daging binatang kurban
lebih aku sukai” [7]
[2]. Imam Nawawi rahimahullah berkata : “Dan madzhab (pendapat) kami
(Syafi’iyah), tidak boleh menjual kulit hadyu atau kurban, dan tidak boleh pula
(menjual) sesuatu dari bagian-bagiannya. Inilah madzhab kami. Dan ini pula
pendapat Atho, An-Nakha’i, Malik, Ahmad dan Ishaq. Namun Ibnul Mundzir
menghikayatkan dari Ibnu Umar, Ahmad dan Ishaq, bahwa tidak mengapa menjual
kulit hadyu dan menshadaqahkan harga (uang)nya. Abu Tsaur memberi keringanan di
dalam menjualnya. An-Nakha’i dan Al-Auza’i berkata : ‘Tidak mengapa membeli ;
ayakan, saringan, kapak, timbangan dan semacamnya dengannya (uang penjualan
kulitnya, -pent), Al-Hasan Al-Bashri mengatakan ; “Kulitnya
boleh diberikan kepada tukang jagalnya’. Tetapi (perkataannya) ini membuang
sunnah, wallahu a’lam. [Lihat Syarah Muslim 5/74-75, Penerbit Darul Hadits
Cairo]
[3]. Imam Ash-Shan’ani rahimahullah berkata : “Ini (hadits Ali di atas)
menunjukkan bahwa dia (Ali) bershadaqah dengan kulit dan jilal (pakaian
onta) sebagaimana dia bershadaqah dengan daging. Dan Ali tidak sedikitpun
mengambil dari hewan sembelihan itu sebagai upah kepada tukang jagal,
karena hal itu termasuk hukum jual-beli, karena dia (tukang jagal) berhak
mendapatkan upah. Sedangkan hukum kurban sama dengan hukum hadyu, yaitu tidak
boleh diberikan kepada tukang jagalnya sesuatupun dari binatang sembelihan itu
(sebagai upah).
Penulis Nihayatul
Mujtahid berkata : “Yang aku ketahui, para ulama sepakat tidak boleh menjual
dagingnya”. Tetapi mereka berselisih tentang kulit dan bulunya yang dapat
dimanfaatkan. Jumhur (mayoritas) ulama mengatakan tidak boleh. Abu Hanifah
mengatakan boleh menjualnya dengan selain dinar dan dirham. Yakni (ditukar)
dengan barang-barang. Atha’ berkata, boleh dengan semuanya, dirham atau
lainnya” Abu Hanifah membedakan antara
uang dengan lainnya, hanya karena beliau memandang bahwa menukar dengan
barang-barang termasuk kategori memanfaatkan (binatang sembelihan), karena
ulama sepakat tentang bolehnya memanfaatkan dengannya’. [Lihat Subulus Salam
4/95, Syarah Hadits Ali]
[4]. Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Bassam mengatakan : “Di antara faidah
hadits ini menunjukkan, bahwa kulit binatang kurban tidak dijual. Bahkan
penggunaan kulitnya adalah seperti dagingnya. Pemilik boleh memanfaatkannya,
menghadiahkannya atau menshadaqahkannya kepada orang-orang fakir dan miskin.
[Lihat Taudhihul Ahkam Min Bulughul Maram 6/70]
Beliau juga berkata : “Para ulama sepakat tidak boleh menjual daging kurban
atau hadyu (hewan yang disembelih oleh orang yang haji). Jumhur (mayoritas)
ulama juga berpendapat tidak boleh menjual kulit binatang kurban, wolnya (bulu
kambing), wabar (rambut onta) dan rambut binatangnya. Sedangkan Abu Hanifah
membolehkan menjual kulitnya, rambutnya dan semacamnya dengan (ditukar)
barang-barang, bukan dengan uang, karena menukar dengan uang merupakan
penjualan yang nyata” [Lihat Taudhihul Ahkam Min Bulughul Maram 6/71]
Imam Abu Hanifah berpendapat
dibolehkannya menjual hasil sembelihan qurban, namun hasil penjualannya
disedekahkan.
(menurut Imam Abu Hanifah: Pe- qurban boleh menjual kulit hewan kurban kemudian
hasil penjualannya disedekahkan atau dibelikan barang yang bermanfaat
untuk keperluan rumah tangga (As-Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, Jilid
III, halaman 278). Akan tetapi, yang lebih selamat dan lebih tepat, hal ini tidak diperbolehkan
berdasarkan larangan dalam hadits di atas dan alasan yang telah disampaikan. Hukum ini berlaku bagi orang yang berkurban (PEQURBAN), adapun bagi seseorang yang diberi atau disedekahi kulit tersebut baik perorangan atau mesjid/ musholla, maka boleh saja baginya menjualnya, karena ini sudah menjadi miliknya, dan kurban itu telah mencapai sasarannya.
Wallahu a’lam.
Wallahu a’lam.
C. BOLEHKAH MEMBERIKAN DAGING QURBAN UNTUK ORANG KAFIR?
Pertanyaan:
Bolehkan memberikan daging qurban untuk orang kafir?
Jawab: Boleh.
Al Lajnah Ad Da-imah (Komisi Fatwa di Saudi Arabia) pernah diajukan
pertanyaan: Bolehkah daging qurban hasil sembelihan atau sesuatu yang termasuk
sedekah diserahkan pada orang kafir?
Jawaban ulama yang duduk di Al Lajnah Ad Da-imah: “Orang kafir boleh
diberi hewan hasil sembelihan qurban, asalkan ia bukan kafir harbi
(yaitu bukan kafir yang memerangi kaum muslimin). Dalil hal ini
adalah firman Allah Ta’ala,
لا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ
يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ
تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
“Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap
orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu
dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.”
(QS. Al Mumtahanah: 8).
Alasan lainnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah
memerintahkan pada Asma’ binti Abi Bakr agar menyambung hubungan baik dengan
ibunya padahal ibunya adalah seorang musyrik sebagaimana diriwayatkan oleh Al
Bukhari. Hadits selengkapnya lihat Shahih Al Bukhari no. 2620.
(TAG: IBADAH)
D. Qurban Nadzar
Pertanyaan:
Apakah termasuk BERNADZAR, orang yang menabung uang bulan demi bulan yang ia
niatkan untuk membeli hewan qurban dan menyembelihnya pada saatnya nanti?
Jawab:
Terlebih dahulu agar diketahui definisi Nadzar.
Makna Nadzar adalah: Berjanji/ bersumpah.
Menurut Istilah Syar’I yakni: Berjanji
mewajibkan suatu amaliyah yang tidak wajib.
Seperti bernadzar akan menyembelih Qurban. Maka si penadzar dan keluarganya tidak boleh mengambil bagian dari hewan qurban nadzar itu seperti daging atau bulunya walau sedikit.
Dasarnya:
ﺛﻡ ﻟﻴﻗﺿﻮﺍ ﺘﻔﺜﻬﻡ ﻮﻟﻴﻮﻔﻮﺍ
ﻨﺬﻮﺮﻫﻡ ﻮﻠﻴﻁﻮﻔﻮﺍ ﺑﺎﻟﺑﻴﺖ ﺍﻟﻌﺘﻴﻖ
“Kemudian hendaklah mereka membersihkan dirinya dan hendaklah mereka
menyempurnakan nadzar-nadzarnya, dan hendaklah mereka tawaf akan Baitullah (Ka’bah)
yang tua sejarahnya itu”.(QS. Al- Hajj. 29)
Dalil lain dari Quran:
وَمَا أَنْفَقْتُمْ مِنْ نَفَقَةٍ أَوْ نَذَرْتُمْ مِنْ نَذْرٍ فَإِنَّ اللَّهَ يَعْلَمُهُ
Artinya: "Apa saja yang kamu nafkahkan atau apa saja yang
kamu nadzarkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya".(QS. Al Baqarah
2:270)
Ada dua macm Nadzar, yakni:
Kesatu: Nadzar
Lajjaj atau Ghodhob. Yakni Nadzar karena marah atau sumpah untuk meninggalkan sesuatu, seperti "Aku bersumpah tidak akan makan palapa". Sumpah jenis ini kali ini tidak akan dibahas.
Kedua. Nazar
tabarrur (ﺘﺑﺮﺮ) ) maknanya
kebajikan. Nazar ini sunat karena "Lilwasa- aili hukmul maqoosid" = bagi
wasilah (nadzar) mengikut hukum perkara yang dikasadkan (ibadat).
*Cara nadzar jenis ini ialah:
A. Bila- Ta'liq
Seorang itu bernazar
mewajibkan dirinya berbuat kebajikan dengan ketiadan TA’LIQ (pergantungan),
seperti seorang yang bersyukur telah sembuh dari penyakitnya berkata: “wajib atas ku menyembelih qurban
karena Allah, yang telah memberi nikmat kepada ku yaitu Dia telah sembuhkan
penyakit ku”, atau “wajib atas ku menyembelih kambing qurban”.
Maka wajib orang itu melakukan apa yang dinadzarkan itu dengan segera dan tidak
ada pilihan yang lain. Ia dan keluarganya tidak boleh dan HARAM memakan walau sedikit
daging Qurban itu karena semuanya sudah dinadzarkan atas nama Allah
B.Bit- Ta'liq
Seorang itu bernazar
mewajibkan dirinya berbuat kebajikan dengan TA’LIQ, yaitu
mengantungkan berbuat kebajikan dengan dapat nikmat atau hilangnya bencana
seperti katanya: “JIKA sembuh aku dari penyakit ini wajib atas ku menyembelih
qurban”. Maka wajib orang itu melakukan apa yang dinazarkan apabila didapati sifat yang
digantungkan misalnya sembuh dari sakit, atau lulus ujian, dlsb.Maka si pe nadzar wajib menunaikan nadzarnya atau kebajikan yang lain. Tidak ada baginya pilihan
yang lain, terkecuali harus/ wajib melaksanakan nadzarnya itu.
Syarat Ucapan (lafadh) yang digunakan untuk bernazar
*Disyaratkan pada ucapan
nazar hendaklah lafadh yang memberi tahu melazimkan (mewajibkan) sesuatu,
seperti seorang yang bernazar berkata: “Bagi Allah, wajib atas ku puasa”. Sebagaimana
nadzarnya Maryam ketika ditanya soal putranya, Isa As. Maka tidak sah/ tidak
termasuk nazar dengan diniat didalam
hati saja, atau karena merencanakan sesuatu pekerjaan/ ibadah, karena nazar termasuk dalam kategori AQDUN/ akad, maka
syaratnya mesti DIUCAPKAN/ dilafadhkan.
Maka seseorang yang mengumpulkan uang
sedikit demi sedikit untuk berqurban di hari raya qurban nanti, maka itu baru merupakan AZAM
atau niyat dan insya Alloh bukan termasuk nadzar. Wallohu a'lam.
E. LARANGAN (MAKRUH) MENCUKUR RAMBUT DAN MEMOTONG KUKU BAGI YANG AKAN BERKORBAN
E. LARANGAN (MAKRUH) MENCUKUR RAMBUT DAN MEMOTONG KUKU BAGI YANG AKAN BERKORBAN
Rasululloh bersabda:
مَن كانَ لَهُ ذِبحٌ يَذبَـحُه فَإِذَا أَهَلَّ هِلاَلُ ذِى الْحِجَّةِ
فَلاَ يَأْخُذَنَّ مِنْ شَعْرِهِ وَلاَ مِنْ أَظْفَارِهِ شَيْئًا حَتَّى
يُضَحِّىَ
”Apabila engkau telah memasuki sepuluh hari pertama (bulan Dzulhijjah) sedangkan diantara kalian ingin berkurban maka janganlah dia menyentuh (memotong) sedikitpun bagian dari rambut dan kukunya (sendiri).” (HR. Muslim)
Tapi menurut sebagian ulama, termasuk Imam Syafi'i, itu sekedar larangan makruh karena ada hadist lain yang berbunyi:
واحتج بحديث عائشة أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يبعث بالهدي من المدينة فلا يجتنب شيئًا مما يجتنب منه المحرم
Dari 'Aisyah RA, bahwa Rasulullah saw mengirimkan qurban dari Madinah dan beliau tidak menjauhi apa yang harus dijauhi seorang yang ber -Ihrom (termasuk larangan bercukur dan memotong kuku) sehingga Qurban itu disembelih.
وبحديث عائشة رضي الله عنها قالت: «كنت أقلد قلائد هدي رسول اللَّه صلى الله عليه وسلم ثم يقلده ويبعث به ولا يحرم عليه شيء أحله الله حتى ينحر هديه». [متفق عليه] .
”Apabila engkau telah memasuki sepuluh hari pertama (bulan Dzulhijjah) sedangkan diantara kalian ingin berkurban maka janganlah dia menyentuh (memotong) sedikitpun bagian dari rambut dan kukunya (sendiri).” (HR. Muslim)
Tapi menurut sebagian ulama, termasuk Imam Syafi'i, itu sekedar larangan makruh karena ada hadist lain yang berbunyi:
واحتج بحديث عائشة أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يبعث بالهدي من المدينة فلا يجتنب شيئًا مما يجتنب منه المحرم
Dari 'Aisyah RA, bahwa Rasulullah saw mengirimkan qurban dari Madinah dan beliau tidak menjauhi apa yang harus dijauhi seorang yang ber -Ihrom (termasuk larangan bercukur dan memotong kuku) sehingga Qurban itu disembelih.
وبحديث عائشة رضي الله عنها قالت: «كنت أقلد قلائد هدي رسول اللَّه صلى الله عليه وسلم ثم يقلده ويبعث به ولا يحرم عليه شيء أحله الله حتى ينحر هديه». [متفق عليه] .
"Aku mengikatkan tali pada hewan qurban
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam mengikatnya kembali dengan tangan Beliau lalu mengirimnya Maka sejak
itu tidak ada yang diharamkan lagi bagi Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
dari apa-apa yang Allah halalkan hingga hewan qurban disembelih"
diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim.
Imam Nawawy dalam Majmu' Syarah Muhaddzab Juz 9/ 386, Darul Hadist Qohiroh 2010 m,
menyatakan:
مذهبنا أن إزالة الشعر والظفر في العشر لمن أراد التضحية مكروه كراهة تنزيه حتى يضحي، وقال مالك وأبو حنيفة لا يكره، وقال سعيد بن المسيب وربيعة وأحمد وإسحاق وداود يحرم، وعن مالك أنه يكره وحكي عنه الدارمي يحرم في التطوع ولا يحرم في الواجب، واحتج القائلون بالتحريم بحديث أم سلمة واحتج الشافعي والأصحاب عليهم بحديث عائشة أنها قالت: كنت أفتل قلائد هدى رسول الله صلى الله عليه وسلم ثم يقلده ويبعث به ولا يحرم عليه شيء أحله الله له حتى ينحر هديه. رواه البخاري ومسلم.
قال الشافعي: البعث بالهدي أكثر من إرادة التضحية فدل على أنه لا يحرم ذلك. انتهى
E- QURBAN DENGAN NIAT UNTUK AYAHNYA YANG SUDAH MENINGGAL APAKAH BOLEH?
Ada beberapa permasalahan,
Bila sebelumnya si mayit berwasiat Qurban, maka semua ulama menyatakan kebolehannya.
Jika si mayit dulu pernah punya nadzar Qurban, maka ahli waris wajib menunaikannya.
Jika si mayit tidak pernah berwasiyat untuk ber Qurban, maka Ulama Hanafiyyah, Malikiyyah dan Hanabilah menyatakan kebolehannya.
Pada madzhab Syafi'i ada perbedaan pendapat, arus yang utama menyatakan ketidak bolehannya jika tidak ada wasiyat atau nadzar.. Namun Abu Al- Hasan Al- Ubbady dan Ar- Rofi'i menyatakan kebolehannya karena Qurban itu termasuk shodaqoh yang merupakan ibadah "maaliyyah).
Jika ketika Qurban dengan niatan Isytirok (Untuk dirinya sendiri dan juga untuk yang sudah meninggal) maka para ulama termasuk ulama Syafi'iyyah menyatakan kebolehannya.
ثم إن العلماء أجمعوا على وصول ثواب الصدقات إلى الأموات، والأضحية من جملة الصدقات، ولا تخرج عنها؛ لهذا كله فإنا نرى جواز الأضحية عن الميت وإن لم يوص بها.
قال الكاساني رحمه الله: "وجه الاستحسان أن الموت لا يمنع التقرب عن الميت، بدليل أنه يجوز أن يتصدق عنه ويحج عنه، وقد صح أن رسول الله صلى الله عليه وسلم ضحى بكبشين أحدهما عن نفسه والآخر عمن لا يذبح من أمته، وإن كان منهم من قد مات قبل أن يذبح، فدل أن الميت يجوز أن يتقرب عنه" انتهى من "بدائع الصنائع" (5/ 72).
ويقول ابن عابدين رحمه الله: "من ضحى عن الميت يصنع كما يصنع في أضحية نفسه من التصدق والأكل والأجر للميت والملك للذابح" "حاشية ابن عابدين" (6/ 326).
أما الحنابلة فقالوا: "التضحية عن ميت أفضل منها عن حي؛ لعجزه واحتياجه إلى الثواب، ويعمل بها كأضحية عن حي من أكل وصدقة وهدية". ينظر "مطالب أولي النهى" (2/ 472).
أما المالكية فقالوا بالجواز العام المشوب بالكراهة، كما جاء في "شرح مختصر خليل" للخرشي (3/ 42): "يكره للشخص أن يضحي عن الميت خوف الرياء والمباهاة ولعدم الوارد في ذلك، وهذا إذا لم يعدها الميت وإلا فللوارث إنفاذها".
وقد خالف في ذلك الشافعية في معتمد مذهبهم، يقول الإمام النووي رحمه الله: "أما التضحية عن الميت، فقد أطلق أبو الحسن العبادي جوازها؛ لأنها ضرب من الصدقة، والصدقة تصح عن الميت وتنفعه وتصل إليه بالإجماع. وقال صاحب "العدة" والبغوي: لا تصح التضحية عن الميت إلا أن يوصي بها، وبه قطع الرافعي" "المجموع" (8/ 380). والله أعلم.
Imam Nawawy dalam Majmu' Syarah Muhaddzab Juz 9/ 386, Darul Hadist Qohiroh 2010 m,
menyatakan:
مذهبنا أن إزالة الشعر والظفر في العشر لمن أراد التضحية مكروه كراهة تنزيه حتى يضحي، وقال مالك وأبو حنيفة لا يكره، وقال سعيد بن المسيب وربيعة وأحمد وإسحاق وداود يحرم، وعن مالك أنه يكره وحكي عنه الدارمي يحرم في التطوع ولا يحرم في الواجب، واحتج القائلون بالتحريم بحديث أم سلمة واحتج الشافعي والأصحاب عليهم بحديث عائشة أنها قالت: كنت أفتل قلائد هدى رسول الله صلى الله عليه وسلم ثم يقلده ويبعث به ولا يحرم عليه شيء أحله الله له حتى ينحر هديه. رواه البخاري ومسلم.
قال الشافعي: البعث بالهدي أكثر من إرادة التضحية فدل على أنه لا يحرم ذلك. انتهى
E- QURBAN DENGAN NIAT UNTUK AYAHNYA YANG SUDAH MENINGGAL APAKAH BOLEH?
Ada beberapa permasalahan,
Bila sebelumnya si mayit berwasiat Qurban, maka semua ulama menyatakan kebolehannya.
Jika si mayit dulu pernah punya nadzar Qurban, maka ahli waris wajib menunaikannya.
Jika si mayit tidak pernah berwasiyat untuk ber Qurban, maka Ulama Hanafiyyah, Malikiyyah dan Hanabilah menyatakan kebolehannya.
Pada madzhab Syafi'i ada perbedaan pendapat, arus yang utama menyatakan ketidak bolehannya jika tidak ada wasiyat atau nadzar.. Namun Abu Al- Hasan Al- Ubbady dan Ar- Rofi'i menyatakan kebolehannya karena Qurban itu termasuk shodaqoh yang merupakan ibadah "maaliyyah).
Jika ketika Qurban dengan niatan Isytirok (Untuk dirinya sendiri dan juga untuk yang sudah meninggal) maka para ulama termasuk ulama Syafi'iyyah menyatakan kebolehannya.
ثم إن العلماء أجمعوا على وصول ثواب الصدقات إلى الأموات، والأضحية من جملة الصدقات، ولا تخرج عنها؛ لهذا كله فإنا نرى جواز الأضحية عن الميت وإن لم يوص بها.
قال الكاساني رحمه الله: "وجه الاستحسان أن الموت لا يمنع التقرب عن الميت، بدليل أنه يجوز أن يتصدق عنه ويحج عنه، وقد صح أن رسول الله صلى الله عليه وسلم ضحى بكبشين أحدهما عن نفسه والآخر عمن لا يذبح من أمته، وإن كان منهم من قد مات قبل أن يذبح، فدل أن الميت يجوز أن يتقرب عنه" انتهى من "بدائع الصنائع" (5/ 72).
ويقول ابن عابدين رحمه الله: "من ضحى عن الميت يصنع كما يصنع في أضحية نفسه من التصدق والأكل والأجر للميت والملك للذابح" "حاشية ابن عابدين" (6/ 326).
أما الحنابلة فقالوا: "التضحية عن ميت أفضل منها عن حي؛ لعجزه واحتياجه إلى الثواب، ويعمل بها كأضحية عن حي من أكل وصدقة وهدية". ينظر "مطالب أولي النهى" (2/ 472).
أما المالكية فقالوا بالجواز العام المشوب بالكراهة، كما جاء في "شرح مختصر خليل" للخرشي (3/ 42): "يكره للشخص أن يضحي عن الميت خوف الرياء والمباهاة ولعدم الوارد في ذلك، وهذا إذا لم يعدها الميت وإلا فللوارث إنفاذها".
وقد خالف في ذلك الشافعية في معتمد مذهبهم، يقول الإمام النووي رحمه الله: "أما التضحية عن الميت، فقد أطلق أبو الحسن العبادي جوازها؛ لأنها ضرب من الصدقة، والصدقة تصح عن الميت وتنفعه وتصل إليه بالإجماع. وقال صاحب "العدة" والبغوي: لا تصح التضحية عن الميت إلا أن يوصي بها، وبه قطع الرافعي" "المجموع" (8/ 380). والله أعلم.
Wallohu a'lam Bisshowab.
Dirangkum oleh: H.Khaeruddin Khasbullah dari berbagai sumber.
Lihat pula:
http://aliftaa.jo/Question.aspx?QuestionId=2774#.V9DImtcnm00
http://ar.islamway.net/fatwa/16653/%D9%85%D8%A7-%D8%AD%D9%83%D9%85-%D8%A5%D9%87%D8%AF%D8%A7%D8%A1-%D8%A7%D9%84%D9%82%D8%B1%D8%A7%D8%A1%D8%A9-%D9%84%D9%84%D9%85%D9%8A%D8%AA
http://www.youm7.com/story/2015/9/20/%D9%83%D9%84-%D9%85%D8%A7-%D8%AA%D8%AD%D8%AA%D8%A7%D8%AC-%D9%85%D8%B9%D8%B1%D9%81%D8%AA%D9%87-%D9%81%D9%82%D9%87%D9%8A%D8%A7-%D8%B9%D9%86-%D8%A7%D9%84%D8%A3%D8%B6%D8%A7%D8%AD%D9%89-%D9%81%D8%AA%D8%A7%D9%88%D9%89-%D9%88%D8%A3%D8%AD%D9%83%D8%A7%D9%85-%D8%A7%D9%84%D8%A3%D8%B6%D8%AD%D9%8A%D8%A9-/2355989
pesantren virtual: http://www.pesantrenvirtual.com/index.php?option=com_content&view=article&id=1295:hukum-memotong-kuku-dan-rambut-untuk-pelaku-qurban&catid=1:tanya-jawab
http://kaahil.wordpress.com/2011/10/30/ulama-madzhab-syafiiyah-tidak-boleh-menjual-kulit-hadyu-atau-kurban-dan-tidak-boleh-pula-menjual-sesuatu-dari-bagian-bagiannya/
http://www.saaid.net/mktarat/hajj/201.htm
http://aliftaa.jo/Question.aspx?QuestionId=2774#.V9DImtcnm00
http://ar.islamway.net/fatwa/16653/%D9%85%D8%A7-%D8%AD%D9%83%D9%85-%D8%A5%D9%87%D8%AF%D8%A7%D8%A1-%D8%A7%D9%84%D9%82%D8%B1%D8%A7%D8%A1%D8%A9-%D9%84%D9%84%D9%85%D9%8A%D8%AA
http://www.youm7.com/story/2015/9/20/%D9%83%D9%84-%D9%85%D8%A7-%D8%AA%D8%AD%D8%AA%D8%A7%D8%AC-%D9%85%D8%B9%D8%B1%D9%81%D8%AA%D9%87-%D9%81%D9%82%D9%87%D9%8A%D8%A7-%D8%B9%D9%86-%D8%A7%D9%84%D8%A3%D8%B6%D8%A7%D8%AD%D9%89-%D9%81%D8%AA%D8%A7%D9%88%D9%89-%D9%88%D8%A3%D8%AD%D9%83%D8%A7%D9%85-%D8%A7%D9%84%D8%A3%D8%B6%D8%AD%D9%8A%D8%A9-/2355989
pesantren virtual: http://www.pesantrenvirtual.com/index.php?option=com_content&view=article&id=1295:hukum-memotong-kuku-dan-rambut-untuk-pelaku-qurban&catid=1:tanya-jawab
http://kaahil.wordpress.com/2011/10/30/ulama-madzhab-syafiiyah-tidak-boleh-menjual-kulit-hadyu-atau-kurban-dan-tidak-boleh-pula-menjual-sesuatu-dari-bagian-bagiannya/
http://www.saaid.net/mktarat/hajj/201.htm
Tidak ada komentar:
Posting Komentar