PENDAPAT SYEKH QORDHOWY TENTANG CADAR/ NIQOB
"Masalah ini masih diperselisihkan oleh para ulama, baik dari kalangan ahli fikih, ahli tafsir, maupun ahli hadits, sejak zaman dahulu hingga sekarang," ujarnya.
Diantaranya pendapat Syafi'i (admin)
وقال الشيرازي صاحب " المهذب " من الشافعية.
(وأما الحرة فجميع بدنها عورة، إلا الوجه والكفين (قال النووي: إلى الكوعين لقوله تعالى: (ولا يبدين زينتهن إلا ما ظهر منها) قال ابن عباس: وجهها وكفيها (قال النووي " في المجموع ": هذا التفسير المذكور عن ابن عباس قد رواه البيهقي عنه وعن عائشة رضي الله عنهم)، ولأن النبي -صلى الله عليه وسلم- " نهى المحرمة عن لبس القفازين والنقاب " (الحديث في صحيح البخاري، عن ابن عمر رضي الله عنهما : " لا تنتقب المحرمة، ولا تلبس القفازين) ولو كان الوجه والكف عورة لما حرم سترهما، ولأن الحاجة تدعو إلى إبراز الوجه للبيع والشراء، وإلى إبراز الكف للأخذ والعطاء، فلم يجعل ذلك عورة).
وأضاف النووي في شرحـه للمهذب " المجموع ": (إن مـن الشافعية مـن حكى قولاً أو وجها أن باطن قدميها ليس بعورة، وقال المزني: القدمان ليستا بعورة، والمذهب الأول).
Imam Syairozi sahib Madzhab Syafi'i menulis:
"Maka bagi wanita merdeka seluruh badannya adalah aurat terkecuali wajah dan kedua telapak tangan. Imam Nawawy berkata dalam kitab Al- Majmu': Ini adalah tafsiran yang tersebut dari sahabat Abdulloh bin Abbas ra, telah meriwayatkan hadist ini Imam Baihaqy dari nya dan dari 'Aisyah ra. Dan karena sesungguhnya Rasululloh saw " Telah melarang wanita yang sedang Ihrom untuk memakai kedua sarung tangan dan cadar". Hadist Sohih Bukhory. Seandainya wajah dan kedua telapak tangan itu aurat, tentu ketika Ihram lebih- lebih wajib untuk ditutupinya. Dan karena hajat keseharian itu memerlukan wajah dan tangan terbuka untuk jual beli, untuk mengambil dan menerima sesuatu dsb. Maka Syari'at tidak menjadikannya aurat. Imam Nawawy menyandarkan pernyatannya pada Al- Majmu' Syarah Al- Muhaddzab dengan pernyataan: "Sesungguhnya Syafi'iyyah ada yang menyatakan suatu pendapat bahwa wajah dan kedua tangan itu bukan aurat, dan berkatalah Imam Al- Muzanie bahwa kedua telapak tangan itu juga bukan aurat, dan itu madzhab yang awal".
Selanjutnya Qardhawi menyatakan bahwa, perbedaan pendapat itu kembali kepada pandangan mereka terhadap nash-nash/ dalil- dalil Al- Qur'an maupun hadist yang berkenaan dengan masalah ini dan sejauh mana pemahaman mereka terhadapnya, karena sejauh tidak didapatinya nash yang qath'i tsubut /pasti (jalan periwayatannya) dan dalalah (petunjuknya) mengenai masalah ini. "Seandainya ada nash yang tegas (tidak samar), sudah tentu masalah ini sudah terselesaikan."
Mereka berbeda pendapat dalam menafsirkan firman Allah:
ولا يُبْدِين زِيَنَتَهُنَّ إلا ما ظَهَـر منها
"...Dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali yang biasa tampak daripadanya..." (QS An-Nur: 31).
Menurut Qardhawi, mereka meriwayatkan dari Ibnu Mas'ud yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan "kecuali apa yang biasa tampak daripadanya" ialah pakaian dan jilbab, yakni pakaian luar yang tidak mungkin disembunyikan.
Mereka juga meriwayatkan dari Ibnu Abbas yang menafsirkan "apa yang biasa tampak" itu dengan celak dan cincin. Penafsiran yang sama juga diriwayatkan dari Anas bin Malik. Dan penafsiran yang hampir sama lagi diriwayatkan dari Aisyah. Selain itu, kadang-kadang lbnu Abbas menyamakan dengan celak dan cincin terhadap pemerah kuku, gelang, anting-anting, atau kalung.
Ada pula yang menganggap bahwa yang dimaksud dengan "perhiasan" di sini ialah tempatnya. Sahabat Ibnu Abbas berkata, "(Yang dimaksud bukan termasuk aurat itu ialah) bagian wajah dan telapak tangan." Dan penafsiran serupa juga diriwayatkan dari Sa'id bin Jubair, Atha', dan lain-lain.
"Sebagian ulama lagi menganggap bahwa sebagian dari lengan termasuk "apa yang biasa tampak" itu. Ibnu Athiyah menafsirkannya dengan apa yang tampak secara darurat, misalnya karena dihembus angin atau lainnya," jelas Qardhawi.
Syekh Qardhawi mengatakan, para ulama juga berbeda pendapat dalam menafsirkan firman Allah: "Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-isti orang mukmin, 'Hendaklah mereka, mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS Al-Ahzab: 59).
Maka apakah yang dimaksud dengan "mengulurkan jilbab" dalam ayat tersebut?
Mereka meriwayatkan dari Ibnu Abbas yang merupakan kebalikan dari penafsirannya terhadap ayat pertama. Mereka meriwayatkan dari sebagian tabi'in—Ubaidah As-Salmani—bahwa ia menafsirkan "mengulurkan jilbab" itu dengan penafsiran praktis (dalam bentuk peragaan), yaitu menutup muka dan kepala, dan membuka mata yang sebelah kiri. Demikian pula yang diriwayatkan dari Muhammad Ka'ab al-Qurazhi.
Namun, kata Qardhawi, penafsiran kedua tokoh ini ditentang oleh Ikrimah, mantan budak Ibnu Abbas. Dia berkata, "Hendaklah ia (wanita) menutup lubang (pangkal) tenggorokannya dengan jilbabnya, dengan mengulurkan jilbab tersebut atasnya."
Sa'id bin Jubair berkata, "Tidak halal bagi wanita muslimah dilihat oleh lelaki asing kecuali ia mengenakan kain di atas kerudungnya, dan ia mengikatkannya pada kepalanya dan lehernya."
"Dalam hal ini saya termasuk orang yang menguatkan pendapat yang mengatakan bahwa wajah dan kedua telapak tangan bukan aurat dan tidak wajib bagi wanita Muslimah menutupnya. Karena menurut saya, dalil-dalil pendapat ini lebih kuat daripada pendapat yang lain," jelas Qardhawi.
Disamping itu, lanjut Qardhawi, banyak sekali ulama zaman sekarang yang sependapat dengan dirinya, yang menyatakan wajah dan kedua tangan itu bukan aurat, misalnya Syekh Muhammad Nashiruddin Al-Albani dalam kitabnya Hijabul Mar'atil Muslimah fil-Kitab was-Sunnah dan mayoritas ulama Al-Azhar di Mesir, ulama Zaituna di Tunisia, Qarawiyyin di Maghrib (Maroko), dan tidak sedikit dari ulama Pakistan, India, Turki, dan lain-lain.
Meskipun demikian, kata Qardhawi, dakwaan (klaim) adanya ijma' ulama sekarang terhadap pendapat ini juga tidaklah benar, karena di kalangan ulama Mesir sendiri ada yang menentangnya. "Ulama-ulama Saudi dan sejumlah ulama negara-negara Teluk menentang pendapat ini, dan sebagai tokohnya adalah ulama besar Syekh Abdul Aziz bin Baz."
Banyak pula ulama Pakistan dan India yang menentang pendapat ini, mereka berpendapat kaum wanita wajib menutup mukanya. Dan diantara ulama terkenal yang berpendapat demikian ialah ulama besar dan dai terkenal, mujaddid Islam yang masyhur, yaitu al-Ustadz Abul A'la Al-Maududi dalam kitabnya Al-Hijab.
Adapun diantara ulama masa kini yang masih hidup yang mengumandangkan wajibnya menutup muka bagi wanita ialah penulis kenamaan dari Suriah, DR Muhammad Sa'id Ramadhan Al-Buthi, yang mengemukakan pendapat ini dalam risalahnya Ilaa Kulli Fataatin Tu'minu Billaahi (Kepada setiap Remaja Putri yang Beriman kepada Allah) .
Disamping itu, kata Qardhawi, masih terus saja bermunculan risalah-risalah dan fatwa-fatwa dari waktu ke waktu yang menganggap aib jika wanita membuka wajah. Mereka menyeru kaum wanita dengan mengatasnamakan agama dan iman agar mereka mengenakan cadar, dan menganjurkan agar jangan patuh kepada ulama-ulama "modern" yang ingin menyesuaikan agama dengan peradaban modern.
"Barangkali mereka memasukkan saya ke dalam kelompok ulama seperti ini," ujarnya. "Jika dijumpai diantara wanita-wanita Muslimah yang merasa mantap dengan pendapat ini, dan menganggap membuka wajah itu haram, dan menutupnya itu wajib, maka bagaimana kita akan mewajibkan kepadanya mengikuti pendapat lain, yang dia anggap keliru dan bertentangan dengan nash?"
Qardhawi menegaskan, "Kami hanya mengingkari mereka jika mereka memasukkan pendapatnya kepada orang lain, dan menganggap dosa dan fasik terhadap orang yang menerapkan pendapat lain itu, serta menganggapnya sebagai kemunkaran yang wajib diperangi, padahal para ulama muhaqiq telah sepakat mengenai tidak bolehnya menganggap munkar terhadap masalah-masalah ijtihadiyah khilafiyah."
Bahkan, kata Qardhawi, seandainya wanita muslimah tersebut tidak menganggap wajib menutup muka, tetapi ia hanya menganggapnya lebih wara' dan lebih takwa demi membebaskan diri dari perselisihan pendapat, dan dia mengamalkan yang lebih hati-hati, maka siapakah yang akan melarang dia mengamalkan pendapat yang lebih hati-hati untuk dirinya dan agamanya? Dan apakah pantas dia dicela selama tidak mengganggu orang lain, dan tidak membahayakan kemaslahatan (kepentingan) umum dan khusus?
Syekh Qardhawi mencela penulis terkenal Ustadz Ahmad Bahauddin yang menulis masalah ini dengan tidak merujuk kepada sumber-sumber terpercaya, lebih-lebih tulisannya ini dimaksudkan sebagai sanggahan terhadap putusan pengadilan khusus yang bergengsi. Sementara kalau dia menulis masalah politik, dia menulisnya dengan cermat, penuh pertimbangan, dan dengan pandangan yang menyeluruh.
Boleh jadi, kata Qardhawi, karena dia bersandar pada sebagian tulisan-tulisan ringan yang tergesa-gesa dan sembarang yang membuatnya terjatuh ke dalam kesalahan sehingga dia menganggap "cadar" sebagai sesuatu yang munkar, dan dikiaskannya dengan "pakaian renang" yang sama-sama tidak memberi kebebasan pribadi.
”Tidak seorang pun ulama dahulu dan sekarang yang mengharamkan memakai cadar bagi wanita secara umum, kecuali hanya pada waktu ihram. Dalam hal ini mereka hanya berbeda pendapat antara yang mengatakannya wajib, mustahab (sunnah), dan jaiz (mubah)," jelas Syekh Qardhawi.
Sedangkan tentang keharamannya, tidak seorang pun ahli fiqih yang berpendapat demikian, bahkan yang memakruhkannya pun tidak ada. Maka Qardhawi mengaku sangat heran kepada Ustadz Bahauddin yang mengecam sebagian ulama Al-Azhar yang mewajibkan menutup muka (cadar) sebagai telah mengharamkan apa yang dihalalkan Allah, atau sebagai pendapat orang yang tidak memiliki kemajuan dan pengetahuan yang mendalam mengenai Al-Qur'an, As-Sunnah, fiqih, dan ushul Fiqih.
"Kalau hal itu hanya sekadar mubah, sebagaimana pendapat yang saya pilih, bukan wajib dan bukan pula mustahab, maka merupakan hak bagi muslimah untuk membiasakannya, dan tidak boleh bagi seseorang untuk melarangnya, karena ia cuma melaksanakan hak pribadinya. Apalagi, dalam membiasakan atau mengenakannya itu tidak merusak sesuatu yang wajib dan tidak membahayakan seseorang," terang ulama lulusan Universitas Al-Azhar Mesir ini.
Qardhawi menyitir sebuah pepatah Mesir yang menyindir orang yang bersikap demikian, "Seseorang bertopang dagu, mengapa anda kesal terhadapnya?"
Hukum buatan manusia sendiri, lanjut dia, mengakui hak-hak perseorangan ini dan melindunginya. Bagaimana mungkin kita akan mengingkari wanita muslimah yang komitmen pada agamanya dan hendak memakai cadar, sementara diantara mahasiswi-mahasiswi di perguruan tinggi itu ada yang mengenakan pakaian mini, tipis, membentuk potongan tubuhnya yang dapat menimbulkan fitnah (rangsangan), dan memakai bermacam-macam make-up, tanpa seorang pun yang mengingkarinya, karena dianggapnya sebagai kebebasan pribadi.
"Padahal pakaian tipis, yang menampakkan kulit, atau tidak menutup bagian tubuh selain wajah dan kedua tangan itu diharamkan oleh syara' demikian menurut kesepakatan kaum Muslim," ujarnya.
Syekh Qardhawi mengaku heran, mengapa wanita-wanita yang berpakaian tetapi telanjang, yang berlenggak-lenggok dan bergaya untuk memikat orang lain kepada kemaksiatan, justru dibebaskan saja tanpa ada seorang pun yang menegurnya dan mengkritiknya? Kemudian mereka tumpahkan seluruh kebencian dan celaan serta caci maki terhadap wanita-wanita bercadar, yang berkeyakinan bahwa hal itu termasuk ajaran agama yang
tidak boleh disia-siakan atau dibuat sembarang?
"Kepada Allah-lah kembalinya segala urusan sebelum dan sesudahnya. Tidak ada daya untuk menjauhi kemaksiatan dan tidak ada kekuatan untuk melakukan ketaatan kecuali dengan pertolongan," tandasnya.
INTINYA:
BERCADAR ATAU TIDAK BERCADAR ITU PILIHAN.
TAPI MASING- MASING TAK BOLEH SALING MENYALAHKAN KARENA MASALAH INI TERMASUK KEDALAM MASALAH KHILAFIYYAH/ PERBEDAAN PENDAPAT DIANATARA PARA ULAMA.
Sumber:
http://alashrafe.yoo7.com/t25-topic
Catatan:
Yusuf al-Qaradawi (lahir di Shafth Turaab, Kairo, Mesir, 9 September 1926; umur 91 tahun) adalah seorang cendekiawan Muslim yang berasal dari Mesir. Ia dikenal sebagai seorang Mujtahid pada era modern ini. Selain sebagai seorang Mujtahid ia juga dipercaya sebagai seorang Ketua Majelis Fatwa.