Posisi Hilal Sudah Tinggi, Masih Perlukah Rukyat dan Sidang Itsbat?
Seperti telah sering kita bahas,
bahwa masalah perhitungan secara Hisab/ mathematics awal munculnya Hilal sudah lama selesai. Berdasarkan
formula ilmu Astro Fisika, hasil akhir perhitungan munculnya Hilal hanya
berbeda detik diantara para ahli hisab yang menghitungnya.
Sebagaimana kita ketahui bahwa
Muhammadiyyah, berdasar methode Wujudul Hilal telah menetapkan awal bulan Romadhon 1437 H jatuh pada Senin
Pahing, 6- Juni- 2016. Begitu juga tanggal 1 Syawal telah ditetapkan jatuh pada
6- Juli- 2016. Alasannya karena pada
Ahad malam Senin, 5- Juni – 2016 ketinggian hilal sudah diatas 4 derajat dan pada akhir Romadhon, Selasa 5- Juli- 2016 Hilal sudah 11
derajat
Demikian pula Persis melalui sekretaris
umumnya, Haris Mulim, LC, ke
wartawan, Rabu (20/4/2016), walaupun mereka menggunakan kriteria Imkaanur
Rukyat, bukan Wujudul Hilal sebagaimana Muhammadiyyah, mereka menganggap
kriterianya sudah memenuhi syarat yang mereka tetapkan, yakni: (1) beda
tinggi antara bulan dan matahari minimal 4 derajat dan (2) jarak sudut
(elongasi) antara bulan dan matahari minimal 6,4 derajat.
Bagaimana Perhitungan Almanak Kudus/ NU?
Bandingkan dengan Almanak Menara
Kudus (yang menjadi acuan kaum Nahdliyyin dan yang sepemikiran dengan kaum Nahdhiyyin), bahwa pada saat Maghrib, Ahad Manis
malam Senin Pahing, 5 – Juni- 2016 itu tercatat:
Tinggi Hilal = 4˚ 09’ dalam
pandangan mata di Jawa Tengah,
Posisi Hilal = 18˚,94 sebelah
utara titik barat, sebelah selatan titik matahari terbenam dalam keadaan miring
ke selatan.
Cahaya: Hilal 0,43 inchi dan
lamanya diatas ufuk = 23 menit.
Sedang saat maghrib, pada Selasa Legi 5- Juli- 2016 Hilal sudah 11
derajat 35 menit diatas horizon. (Sehari sebelumnya Hilal masih minus 0 derajat
50’) dibawah ufuk, berarti hampir dipastikan 1 Syawal -1437 H akan jatuh pada
Hari Rabo Pahing, 6- juli- 2016.
Melihat kenyataan demikian,
berarti secara perhitungan astronomis, hampir semua Jama’ah besar Islam di Indonesia
mendapatkan hari yang sama tentang awal bulan Romadhon 1437 H, yakni insya
Alloh akan jatuh pada hari Senin Pahing, 6 Juni 2016). Begitu pula awal Syawal
1437 H yang akan jatuh pada RaboPahing 6- Juli- 2016.
Masih perlukah Rukyat dan sidang Itsbat?
Dalam pandangan Fikih, segala
kemaslahatan ummat, wilayahnya ada ditangan Pemerintah (Ulil Amri) cq.
Kementrian Agama, termasuk penentuan awal Romadhon, awal Syawal dan awal Dzul
Hijjah.
Demikian juga berdasarkan
tekstual hadist, Romadhon dan Syawal itu ditetapkan (Itsbat) oleh Nabi
berdasarkan laporan sahabat yang telah dapat melihat (rukyat) Hilal. Masalah
Puasa, Iedul Fithri maupun Iedul Adl- ha adalah masalah Ibadah, bukan masalah
Science an sich. Maka nilai ibadah tertinggi adalah berdasarkan Itba’ Rasul.
Apapun hasil ijtihad para cendekia, maka tetap nilai utamanya adalah mengacu kepada
bahasa tekstual hadist yang menyatakan penetapan (Itsbat) bulan- bulan ibadah
itu berdasar Rukyat, bukan berdasar Science. Maka, bagi mereka yang berpegang teguh pada
ketentuan ini, seperti kaum Nahdliyyin dan yang selaras dengan mereka seperti
Jama’ah Perti, Jama’ah Rifa’iyyah, Jami’atul Wasliyyah, Jamia’t Khoer, Nahdhotul Wathon, dsb
(dalam hal ini jama’ah Salafy juga biasanya menggunakan cara ini), mereka akan melakukan Rukyat
(munggah/ naik ketempat yang tinggi) untuk berusaha melihat kemunculan/ ketidak munculan Hilal sebagai bentuk ibadah kepada
Alloh. Hasil pengamatan dilapangan ini akan diserahkan kepada Ulil Amri, cq Kemenag RI untuk dibahas dan disidangkan kemudian di TETAPKAN / ITSBAT oleh bapak Menteri..
Bahkan sebagian ulama menyatakan bahwa penetapan awal bulan Ibadah
seperti Romadhon dan bulan - bulan ibadah lainnya dengan cara Hisab (Science) saja tidak dapat dijadikan
pegangan Karena masalah Ubudiyyah tidak sama dengan masalah Science.
Perbedaan antara Penentuan Waktu Sholat dan Arah Qiblat dengan Penentuan awal Romadhon awal Syawal dan awal Dzul Hijjah.
Sering kali masyarakat bertanya- tanya, mengapa diantara para ulama tidak ada perselisihan tentang bolehnya penentuan waktu sholat dan arah qiblat dilakukan dengan cara Hisab/ Matematics murni, sedang pada penentuan awal Romadhon dan awal Syawal sebagian besar ulama menyatakan harus memakai dasar Rukyat dan tidak cukup memakai Hisab Murni? Apa yang membedakannya?.
Ternyata ketika diteliti sumber dalil yang berkenaan dengan waktu- waktu ibadah tersebut diatas, ada perbedaan yang sangat mendasar, yakni:
- Pada penentuan waktu sholat, tidak ada satu teks pun Qur'an atau hadist yang mennyatakan bagaimana CARA nya untuk menentukan waktu - waktu tersebut.
Dalam ٍSurat Al- Isro' ayat 78 tertulis:
"Tegakkan sholat ketika matahari telah bergeser sampai gelapnya malam dan juga sholat fajar........"
Dalam ayat ini tidak disebutkan bagaimana caranya melihat matahari yang telah bergeser ataupun bagaimana caranya menentukan waktu telah malam atau telah fajar. Lihat pula hadist- hadist tentang masuknya waktu sholat.
- Begitu juga tentang arah qiblat, tidak ada satu ayat atau hadist pun yang menyatakan bagaimana caranya kita menghadap qiblat. Alloh berfirman dalam Al- Baqoroh 144:
فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ
"Dan hendaklah kau hadapkan wajahmu ke arah Masjidil Harom. Maka dimanapun kalian berada, hadapkanlah wajah- wajah/ diri kalian kearah qiblat tersebut"....dalam ayat ini juga tidak dijelaskan bagaimana caranya untuk mencari arah qiblat.
Berbeda dengan Shoum Romadhon maupun Syawwal. Nabi menyatakan: "Berpuasalah kalian karena MELIHAT HILAL dan sudahilah shiyam karena MELIHAT HILAL..................". HR. Bukhory.
Dalam menentukan awal Dzul Hujjah Alloh berfirman dalam Al- Baqoroh 189 :
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الأهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ وَلَيْسَ
"Kalian bertanya tentang HILAL, katakanlah (wahai Muhammad), bahwa hilal itu penentu waktu- waktu bulan ibadah bagi manusia dan juga bulan HAJJI".
Oleh karena itu sebagian besar ulama kukuh berpegang pada hadist ini dengan menyatakan bahwa masuknya bulan Shiyam, Syawwal ataupun Dzul Hijjah harus berdasar Rukyat, sedang untuk menentukan waktu sholat atapun arah qiblat, boleh bebas menggunakan matematics murni atau dengan berbagai cara lainnya.
Perbedaan antara Penentuan Waktu Sholat dan Arah Qiblat dengan Penentuan awal Romadhon awal Syawal dan awal Dzul Hijjah.
Sering kali masyarakat bertanya- tanya, mengapa diantara para ulama tidak ada perselisihan tentang bolehnya penentuan waktu sholat dan arah qiblat dilakukan dengan cara Hisab/ Matematics murni, sedang pada penentuan awal Romadhon dan awal Syawal sebagian besar ulama menyatakan harus memakai dasar Rukyat dan tidak cukup memakai Hisab Murni? Apa yang membedakannya?.
Ternyata ketika diteliti sumber dalil yang berkenaan dengan waktu- waktu ibadah tersebut diatas, ada perbedaan yang sangat mendasar, yakni:
- Pada penentuan waktu sholat, tidak ada satu teks pun Qur'an atau hadist yang mennyatakan bagaimana CARA nya untuk menentukan waktu - waktu tersebut.
Dalam ٍSurat Al- Isro' ayat 78 tertulis:
أَقِمِ الصَّلَاةَ لِدُلُوكِ الشَّمْسِ إِلَىٰ غَسَقِ اللَّيْلِ
وَقُرْآنَ الْفَجْرِ ۖ إِنَّ قُرْآنَ الْفَجْرِ كَانَ مَشْهُودًا (78)
"Tegakkan sholat ketika matahari telah bergeser sampai gelapnya malam dan juga sholat fajar........"
Dalam ayat ini tidak disebutkan bagaimana caranya melihat matahari yang telah bergeser ataupun bagaimana caranya menentukan waktu telah malam atau telah fajar. Lihat pula hadist- hadist tentang masuknya waktu sholat.
- Begitu juga tentang arah qiblat, tidak ada satu ayat atau hadist pun yang menyatakan bagaimana caranya kita menghadap qiblat. Alloh berfirman dalam Al- Baqoroh 144:
فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ
"Dan hendaklah kau hadapkan wajahmu ke arah Masjidil Harom. Maka dimanapun kalian berada, hadapkanlah wajah- wajah/ diri kalian kearah qiblat tersebut"....dalam ayat ini juga tidak dijelaskan bagaimana caranya untuk mencari arah qiblat.
Berbeda dengan Shoum Romadhon maupun Syawwal. Nabi menyatakan: "Berpuasalah kalian karena MELIHAT HILAL dan sudahilah shiyam karena MELIHAT HILAL..................". HR. Bukhory.
Dalam menentukan awal Dzul Hujjah Alloh berfirman dalam Al- Baqoroh 189 :
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الأهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ وَلَيْسَ
"Kalian bertanya tentang HILAL, katakanlah (wahai Muhammad), bahwa hilal itu penentu waktu- waktu bulan ibadah bagi manusia dan juga bulan HAJJI".
Oleh karena itu sebagian besar ulama kukuh berpegang pada hadist ini dengan menyatakan bahwa masuknya bulan Shiyam, Syawwal ataupun Dzul Hijjah harus berdasar Rukyat, sedang untuk menentukan waktu sholat atapun arah qiblat, boleh bebas menggunakan matematics murni atau dengan berbagai cara lainnya.
Wallohu a'lam.
Lihat pembahasanya disini:
Dalil- dalil:
1- عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : " صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ ، وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ ، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا الْعِدَّةَ ثَلاثِينَ " .
Dari Abi Hurairoh ra,Rasululloh saw bersabda: "Berpuasalah kalian ketika melihat Hilal (Romadhon), dan berbukalah kalian ketika melihat Hilal (Syawal). Jika Hilal tertutup atas kalian, maka hendaklah bulan itu kalian sempurnakan 30 hari". HR. Bukhory dan Muslim.
2- Al Qurthubi :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ ۖ فَإِنْ
تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ
تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ
تَأْوِيلًا
Hai
orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil
amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu,
maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih
utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
قال سهل بن عبد الله التستري: أطيعوا
السلطان في سبعة: ضرب الدراهم والدنانير، والمكاييل والاوزان، والاحكام والحج
والجمعة والعيدين والجهاد.
Sahal
bin Abdullah at-Tastari berkata : Taatlah kamu kepada penguasa dalam tujuh
perkara : di dalam penentuan mata uang yang sah, di dalam takaran, di dalam
timbangan, di dalam hukum, di dalam haji, di dalam shalat jum’at, dan di dalam
dua hari raya serta jihad.
2- Dari
hadist Sunan At Tirmidzi :
الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُومُونَ
وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُونَ وَالأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّونَ
Berpuasa
kalian pada hari berpuasa, berbukalah kalian pada hari raya, berkurbanlah
kalian pada hari berkurban.
3- Pendapat
para ulama mengenai hadist di atas :
وَفَسَّرَ بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ
هَذَا الْحَدِيثَ فَقَالَ : إِنَّمَا مَعْنَى هَذَا الصَّوْمُ وَالْفِطْرُ مَعَ
الْجَمَاعَةِ وَعِظَمِ النَّاسِ
Sebagian
ulama memberikan penafsiran mengenai hadist ini, mereka berkata : Bahwa makna
hadist ini adalah perintah untuk berpuasa dan berhari raya bersama dengan Al
Jama'ah dan golongan mayoritas.
وَالظَّاهِر أَنَّ مَعْنَاهُ أَنَّ
هَذِهِ الْأُمُور لَيْسَ لِلْآحَادِ فِيهَا دَخْل وَلَيْسَ لَهُمْ التَّفَرُّد
فِيهَا بَلْ الْأَمْر فِيهَا إِلَى الْإِمَام وَالْجَمَاعَة وَيَجِب عَلَى
الْآحَاد اِتِّبَاعهمْ لِلْإِمَامِ وَالْجَمَاعَة
Dan
makna dhahir dari perkara perkara ini (menentukan waktu puasa dan hari raya)
tidak bolehnya ada campur tangan individu-individu dan tidak boleh bagi mereka
untuk menetapkan keputusan sendiri, akan tetapi keputusannya diserahkan kepada
pemimpin dan pemerintah, dan wajib bagi individu-individu untuk mengikuti
keputusan pemimpin dan pemerintah.
وَقِيلَ فِيهِ الرَّدُّ عَلَى مَنْ
يَقُولُ إِنَّ مَنْ عَرَفَ طُلُوعَ الْقَمَرِ بِتَقْدِيرِ حِسَابِ الْمَنَازِلِ
جَازَ لَهُ أَنْ يَصُومَ بِهِ وَيُفْطِرَ دُونَ مَنْ لَمْ يَعْلَمْ
Dan
dikatakan bahwa dalam hadits ini ada bantahan terhadap orang yang berpendapat
bahwa siapa yang mengetahui kemunculan bulan dengan perkiraan hisab
(perhitungan) tempat-tempat bulan maka boleh baginya untuk berpuasa dan berbuka
tanpa diketahui orang lain.
وَقِيلَ إِنَّ الشَّاهِدَ الْوَاحِدَ
إِذَا رَأَى الْهِلَالَ وَلَمْ يَحْكُمْ الْقَاضِي بِشَهَادَتِهِ أَنَّ هَذَا لَا
يَكُونُ هَذَا صَوْمًا لَهُ كَمَا لَمْ يَكُنْ لِلنَّاسِ
Dan
dikatakan bahwa satu orang saksi yang melihat hilal dan kesaksiannya tidak
diakui oleh seorang hakim maka tidak boleh baginya berpuasa, sebagaimana tidak
boleh juga bagi masyarakat umum.
وَعَلَى هَذَا فَإِذَا رَأَى أَحَد
الْهِلَال وَرَدَّ الْإِمَام شَهَادَته يَنْبَغِي أَنْ لَا يَثْبُت فِي حَقّه
شَيْء مِنْ هَذِهِ الْأُمُور وَيَجِب عَلَيْهِ أَنْ يَتْبَع الْجَمَاعَة فِي ذَلِكَ
Oleh
karena itu, apabila seseorang melihat hilal, namun pemimpin menolak
persaksiannya, maka sepatutnya ia tidak memutuskan apa-apa dalam
perkara-perkara ini, dan wajib baginya untuk mengikuti keputusan pemerintah.
b- Imam Hasan Al- Bashory
berkata:
وقال
الحسن البصري – رحمه الله – أربع من أمر الإسلام إلى السلطان: الحكم والفيء
والجهاد والجمعة.
Al Imam Hasan Al Bashri mengatakan : Ada 4 perkara yang harus ikut kepada pemerintah, pertama di dalam masalah hukum, pembagian harta fa'i, jihad dan shalat jum'at.
c- Beberapa hadist:
وعن ابن عمر رضي الله عنهما ، عن
النبيِّ - صلى الله عليه وسلم - ، قَالَ : (( عَلَى
المَرْءِ الْمُسْلِمِ السَّمْعُ والطَّاعَةُ فِيمَا أحَبَّ وكَرِهَ ، إِلاَّ أنْ
يُؤْمَرَ بِمَعْصِيةٍ ، فَإذَا أُمِرَ بِمَعْصِيةٍ فَلاَ سَمْعَ وَلاَ طَاعَةَ ))
متفقٌ عَلَيْهِ
Ibnu
Umar Ra berkata bahwa Nabi Saw Bersabda : Seorang muslim wajib mendengar taat,
pada pemerintahnya, dalam apa yang disenangi dan tidak si senangi, kecuali
diperintah berbuat maksiat. Maka apabila diperintah makshiyat, maka tidak wajib
mendengar dan tidak wajib taat.HR. Bukhory dan Muslim.
صحيح مسلم - (ج 9 / ص 393(سَمِعْتُ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ خَلَعَ يَدًا
مِنْ طَاعَةٍ لَقِيَ اللَّهَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَا حُجَّةَ لَهُ وَمَنْ مَاتَ
وَلَيْسَ فِي عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً
Ibnu
Umar Ra berkata : Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, barangsiapa yang
melepas tangan dari taat, maka akan bertemu dengan Allah pada hari kiamat
dengan tidak membawa hujjah. Dan barang siapa yang mati, sedang di lehernya
tidak ada suatu baiat, maka dia mati dalam sebagaimana matinya orang
jahiliyyah.HR. Muslim.
GPI, Purwasari, Karawang,27- April- 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar