PENDAPAT SYEKH QORDHOWY TENTANG CADAR/ NIQOB
Syekh Yusuf Al- Qardhawi mengatakan, satu hal yang tidak akan disangkal oleh
siapa pun yang mengetahui sumber-sumber ilmu dan pendapat ulama,
bahwa
masalah memakai cadar tersebut merupakan masalah khilafiyah, masih ada perbedaan pendapat. Artinya, persoalan apakah
boleh membuka wajah, atau wajib menutupnya — demikian pula dengan hukum
kedua telapak tangan — adalah masalah yang masih diperselisihkan diantara para ulama.
"Masalah
ini masih diperselisihkan oleh para ulama, baik dari kalangan ahli
fikih, ahli tafsir, maupun ahli hadits, sejak zaman dahulu hingga
sekarang," ujarnya.
Diantaranya pendapat Syafi'i (admin)
وقال الشيرازي صاحب " المهذب " من الشافعية.
(وأما الحرة فجميع
بدنها عورة، إلا الوجه والكفين (قال النووي: إلى الكوعين لقوله تعالى: (ولا
يبدين زينتهن إلا ما ظهر منها) قال ابن عباس: وجهها وكفيها (قال النووي "
في المجموع ": هذا التفسير المذكور عن ابن عباس قد رواه البيهقي عنه وعن
عائشة رضي الله عنهم)، ولأن النبي -صلى الله عليه وسلم- " نهى المحرمة عن
لبس القفازين والنقاب " (الحديث
في صحيح البخاري، عن ابن عمر رضي الله
عنهما : " لا تنتقب المحرمة، ولا تلبس القفازين) ولو كان الوجه والكف عورة
لما حرم سترهما، ولأن الحاجة تدعو إلى إبراز الوجه للبيع والشراء، وإلى
إبراز الكف للأخذ والعطاء، فلم يجعل ذلك عورة).
وأضاف النووي في شرحـه
للمهذب " المجموع ": (إن مـن الشافعية مـن حكى قولاً أو وجها أن باطن
قدميها ليس بعورة، وقال المزني: القدمان ليستا بعورة، والمذهب الأول).
Imam Syairozi sahib Madzhab Syafi'i menulis:
"Maka
bagi wanita merdeka
seluruh badannya adalah aurat terkecuali wajah dan
kedua telapak tangan. Imam Nawawy berkata dalam kitab Al- Majmu': Ini
adalah tafsiran yang tersebut dari sahabat Abdulloh bin Abbas ra, telah
meriwayatkan hadist ini Imam Baihaqy dari nya dan dari 'Aisyah ra. Dan
karena sesungguhnya Rasululloh saw " Telah melarang wanita yang sedang
Ihrom untuk memakai kedua sarung tangan dan cadar". Hadist Sohih
Bukhory.
Seandainya wajah dan kedua telapak tangan itu aurat, tentu ketika Ihram lebih- lebih wajib untuk ditutupinya. Dan
karena hajat keseharian itu memerlukan wajah dan tangan terbuka untuk
jual beli, untuk mengambil dan menerima sesuatu dsb. Maka Syari'at
tidak menjadikannya aurat. Imam Nawawy menyandarkan pernyatannya pada
Al- Majmu' Syarah Al- Muhaddzab dengan pernyataan:
"Sesungguhnya
Syafi'iyyah ada yang menyatakan suatu pendapat bahwa wajah dan kedua
tangan itu bukan aurat, dan berkatalah Imam Al- Muzanie bahwa kedua
telapak tangan itu juga bukan aurat, dan itu madzhab yang awal".
Selanjutnya Qardhawi menyatakan bahwa, perbedaan
pendapat itu kembali kepada pandangan mereka terhadap nash-nash/ dalil- dalil Al- Qur'an maupun hadist yang
berkenaan dengan masalah ini dan sejauh mana pemahaman mereka
terhadapnya, karena sejauh tidak didapatinya nash yang
qath'i tsubut /pasti (jalan periwayatannya) dan
dalalah
(petunjuknya) mengenai masalah ini.
"Seandainya ada nash yang tegas
(tidak samar), sudah tentu masalah ini sudah terselesaikan."
Mereka berbeda pendapat dalam menafsirkan firman Allah:
ولا يُبْدِين زِيَنَتَهُنَّ إلا ما ظَهَـر منها
"...Dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali yang biasa tampak daripadanya..." (QS An-Nur: 31).
Menurut
Qardhawi, mereka meriwayatkan dari Ibnu Mas'ud yang mengatakan bahwa
yang dimaksud dengan "kecuali apa yang biasa tampak daripadanya" ialah
pakaian dan jilbab, yakni pakaian luar yang tidak mungkin
disembunyikan.
Mereka juga meriwayatkan dari Ibnu Abbas
yang menafsirkan "apa yang biasa tampak" itu dengan celak dan cincin.
Penafsiran yang sama juga diriwayatkan dari Anas bin Malik. Dan
penafsiran yang hampir sama lagi diriwayatkan dari Aisyah. Selain
itu, kadang-kadang lbnu Abbas menyamakan dengan celak dan cincin
terhadap pemerah kuku, gelang, anting-anting, atau kalung.
Ada
pula yang menganggap bahwa yang dimaksud dengan "perhiasan" di sini
ialah tempatnya.
Sahabat Ibnu Abbas berkata, "(Yang dimaksud bukan termasuk aurat itu ialah) bagian
wajah dan telapak tangan." Dan penafsiran serupa juga diriwayatkan
dari Sa'id bin Jubair, Atha', dan lain-lain.
"Sebagian
ulama lagi menganggap bahwa sebagian dari lengan termasuk "apa yang
biasa tampak" itu. Ibnu Athiyah menafsirkannya dengan apa yang tampak
secara darurat, misalnya karena dihembus angin atau lainnya," jelas
Qardhawi.
Syekh Qardhawi mengatakan, para ulama juga berbeda pendapat dalam menafsirkan firman Allah:
"Hai
Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan
istri-isti orang mukmin, 'Hendaklah mereka, mengulurkan jilbabnya ke
seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah
untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS Al-Ahzab: 59).
Maka apakah yang dimaksud dengan "mengulurkan jilbab" dalam ayat tersebut?
Mereka
meriwayatkan dari Ibnu Abbas yang merupakan kebalikan dari
penafsirannya terhadap ayat pertama. Mereka meriwayatkan dari sebagian
tabi'in—Ubaidah As-Salmani—bahwa ia menafsirkan "mengulurkan jilbab"
itu dengan penafsiran praktis (dalam bentuk peragaan), yaitu menutup
muka dan kepala, dan membuka mata yang sebelah kiri. Demikian pula yang
diriwayatkan dari Muhammad Ka'ab al-Qurazhi.
Namun, kata
Qardhawi, penafsiran kedua tokoh ini ditentang oleh
Ikrimah, mantan
budak Ibnu Abbas.
Dia berkata, "Hendaklah ia (wanita) menutup lubang
(pangkal) tenggorokannya dengan jilbabnya, dengan mengulurkan jilbab
tersebut atasnya."
Sa'id bin Jubair berkata, "Tidak
halal bagi wanita muslimah dilihat oleh lelaki asing kecuali ia
mengenakan kain di atas kerudungnya, dan ia mengikatkannya pada
kepalanya dan lehernya."
"Dalam hal ini saya termasuk
orang yang menguatkan pendapat yang mengatakan bahwa wajah dan kedua
telapak tangan bukan aurat dan tidak wajib bagi wanita Muslimah
menutupnya. Karena menurut saya, dalil-dalil pendapat ini lebih kuat
daripada pendapat yang lain," jelas Qardhawi.
Disamping
itu, lanjut Qardhawi, banyak sekali ulama zaman sekarang yang sependapat
dengan dirinya, yang menyatakan wajah dan kedua tangan itu bukan aurat, misalnya
Syekh Muhammad Nashiruddin Al-Albani dalam
kitabnya
Hijabul Mar'atil Muslimah fil-Kitab was-Sunnah dan
mayoritas ulama Al-Azhar di Mesir, ulama Zaituna di Tunisia, Qarawiyyin
di Maghrib (Maroko), dan tidak sedikit dari ulama Pakistan, India,
Turki, dan lain-lain.
Meskipun demikian, kata Qardhawi, dakwaan (klaim) adanya
ijma'
ulama sekarang terhadap pendapat ini juga tidaklah benar, karena
di kalangan ulama Mesir sendiri ada yang menentangnya. "Ulama-ulama
Saudi dan sejumlah ulama negara-negara Teluk menentang pendapat
ini, dan sebagai tokohnya adalah ulama besar Syekh Abdul Aziz bin
Baz."
Banyak pula ulama Pakistan dan India yang
menentang pendapat ini, mereka berpendapat kaum wanita wajib menutup
mukanya. Dan diantara ulama terkenal yang berpendapat demikian ialah
ulama besar dan dai terkenal, mujaddid Islam yang masyhur, yaitu
al-Ustadz Abul A'la Al-Maududi dalam kitabnya Al-Hijab.
Adapun
diantara ulama masa kini yang masih hidup yang mengumandangkan
wajibnya menutup muka bagi wanita ialah penulis kenamaan dari Suriah, DR
Muhammad Sa'id Ramadhan Al-Buthi, yang mengemukakan pendapat ini dalam
risalahnya
Ilaa Kulli Fataatin Tu'minu Billaahi (Kepada setiap Remaja Putri yang Beriman kepada Allah) .
Disamping
itu, kata Qardhawi, masih terus saja bermunculan risalah-risalah dan
fatwa-fatwa dari waktu ke waktu yang menganggap aib jika wanita membuka
wajah. Mereka menyeru kaum wanita dengan mengatasnamakan agama dan
iman agar mereka mengenakan cadar, dan menganjurkan agar jangan
patuh kepada ulama-ulama "modern" yang ingin menyesuaikan agama
dengan peradaban modern.
"Barangkali mereka
memasukkan saya ke dalam kelompok ulama seperti ini," ujarnya. "Jika
dijumpai diantara wanita-wanita Muslimah yang merasa mantap dengan
pendapat ini, dan menganggap membuka wajah itu haram, dan menutupnya
itu wajib, maka bagaimana kita akan mewajibkan kepadanya mengikuti
pendapat lain, yang dia anggap keliru dan bertentangan dengan nash?"
Qardhawi
menegaskan, "Kami hanya mengingkari mereka jika mereka memasukkan
pendapatnya kepada orang lain, dan menganggap dosa dan fasik terhadap
orang yang menerapkan pendapat lain itu, serta menganggapnya sebagai
kemunkaran yang wajib diperangi,
padahal para ulama muhaqiq telah sepakat mengenai tidak bolehnya menganggap munkar terhadap masalah-masalah ijtihadiyah khilafiyah."
Bahkan,
kata Qardhawi, seandainya wanita muslimah tersebut tidak menganggap
wajib menutup muka, tetapi ia hanya menganggapnya lebih wara' dan lebih
takwa demi membebaskan diri dari perselisihan pendapat, dan dia
mengamalkan yang lebih hati-hati, maka siapakah yang akan melarang
dia mengamalkan pendapat yang lebih hati-hati untuk dirinya dan
agamanya? Dan apakah pantas dia dicela selama tidak mengganggu orang
lain, dan tidak membahayakan kemaslahatan (kepentingan) umum dan
khusus?
Syekh Qardhawi mencela penulis terkenal Ustadz
Ahmad Bahauddin yang menulis masalah ini dengan tidak merujuk kepada
sumber-sumber terpercaya, lebih-lebih tulisannya ini dimaksudkan
sebagai sanggahan terhadap putusan pengadilan khusus yang bergengsi.
Sementara kalau dia menulis masalah politik, dia menulisnya dengan
cermat, penuh pertimbangan, dan dengan pandangan yang menyeluruh.
Boleh
jadi, kata Qardhawi, karena dia bersandar pada sebagian tulisan-tulisan
ringan yang tergesa-gesa dan sembarang yang membuatnya terjatuh ke
dalam kesalahan sehingga dia menganggap "cadar" sebagai sesuatu yang
munkar, dan dikiaskannya dengan "pakaian renang" yang sama-sama
tidak memberi kebebasan pribadi.
”Tidak seorang pun ulama
dahulu dan sekarang yang mengharamkan memakai cadar bagi wanita
secara umum, kecuali hanya pada waktu ihram. Dalam hal ini mereka
hanya berbeda pendapat antara yang mengatakannya wajib, mustahab (sunnah), dan
jaiz (mubah)," jelas Syekh Qardhawi.
Sedangkan tentang
keharamannya, tidak seorang pun ahli fiqih yang berpendapat demikian,
bahkan yang memakruhkannya pun tidak ada. Maka Qardhawi mengaku sangat
heran kepada Ustadz Bahauddin yang mengecam sebagian ulama Al-Azhar
yang mewajibkan menutup muka (cadar) sebagai telah mengharamkan apa
yang dihalalkan Allah, atau sebagai pendapat orang yang tidak
memiliki kemajuan dan pengetahuan yang mendalam mengenai Al-Qur'an,
As-Sunnah, fiqih, dan ushul Fiqih.
"Kalau hal itu hanya sekadar mubah, sebagaimana pendapat yang saya pilih, bukan wajib dan bukan pula
mustahab,
maka merupakan hak bagi muslimah untuk membiasakannya, dan tidak
boleh bagi seseorang untuk melarangnya, karena ia cuma melaksanakan
hak pribadinya. Apalagi, dalam membiasakan atau mengenakannya itu
tidak merusak sesuatu yang wajib dan tidak membahayakan seseorang,"
terang ulama lulusan Universitas Al-Azhar Mesir ini.
Qardhawi
menyitir sebuah pepatah Mesir yang menyindir orang yang bersikap
demikian, "Seseorang bertopang dagu, mengapa anda kesal terhadapnya?"
Hukum
buatan manusia sendiri, lanjut dia, mengakui hak-hak perseorangan ini
dan melindunginya. Bagaimana mungkin kita akan mengingkari wanita
muslimah yang komitmen pada agamanya dan hendak memakai cadar,
sementara diantara mahasiswi-mahasiswi di perguruan tinggi itu ada
yang mengenakan pakaian mini, tipis, membentuk potongan tubuhnya
yang dapat menimbulkan fitnah (rangsangan), dan memakai
bermacam-macam
make-up, tanpa seorang pun yang mengingkarinya, karena dianggapnya sebagai kebebasan pribadi.
"Padahal
pakaian tipis, yang menampakkan kulit, atau tidak menutup bagian tubuh
selain wajah dan kedua tangan itu diharamkan oleh syara' demikian
menurut kesepakatan kaum Muslim," ujarnya.
Syekh Qardhawi
mengaku heran, mengapa wanita-wanita yang berpakaian tetapi telanjang,
yang berlenggak-lenggok dan bergaya untuk memikat orang lain kepada
kemaksiatan, justru dibebaskan saja tanpa ada seorang pun yang menegurnya dan mengkritiknya?
Kemudian mereka tumpahkan seluruh kebencian dan celaan serta caci maki
terhadap wanita-wanita bercadar, yang berkeyakinan bahwa hal itu
termasuk ajaran agama yang
tidak boleh disia-siakan atau dibuat sembarang?
"Kepada
Allah-lah kembalinya segala urusan sebelum dan sesudahnya. Tidak ada
daya untuk menjauhi kemaksiatan dan tidak ada kekuatan untuk melakukan
ketaatan kecuali dengan pertolongan," tandasnya.
INTINYA:
BERCADAR ATAU TIDAK BERCADAR ITU PILIHAN.
TAPI MASING- MASING TAK BOLEH SALING MENYALAHKAN KARENA MASALAH INI TERMASUK KEDALAM MASALAH KHILAFIYYAH/ PERBEDAAN PENDAPAT DIANATARA PARA ULAMA.
Sumber:
http://alashrafe.yoo7.com/t25-topic
Catatan:
Yusuf al-Qaradawi (lahir di Shafth Turaab,
Kairo, Mesir, 9 September 1926; umur 91 tahun) adalah seorang
cendekiawan Muslim yang berasal dari Mesir. Ia dikenal sebagai seorang
Mujtahid pada era modern ini. Selain sebagai seorang Mujtahid ia juga
dipercaya sebagai seorang Ketua Majelis Fatwa.